Label

Kamis, 26 November 2009

Homogenic performs again in Singapore

Sun, 08/30/2009 11:55 AM | Music

Some people say "the first cut is the deepest". Well, Homogenic proved that.

In our local electronic scene, Homogenic is a well-known band. They've been around since 2003, producing rare combinations of electronic music.

If you imagine that electronic music only consists of random beats and sketches from machines, then you're wrong. This band adds angelic voices to those components, making them a rare item in the scene.

Courtesy of FFWD Records

Courtesy of FFWD Records

Homogenic has already released two, Epic Symphony (2003) and Echoes of the Universe (2007). Their third album Let Thousand Flowers Bloom is on its way to being released soon.

All of their records have been released by FFWD Records, a leading name in our independent scene. The Bandung-based label has proven itself in their all-out effort to spread the word about their releases, even outside Indonesia.

The label has also taken Homogenic abroad. In May, they made their first international tour, playing an All-Indonesia series called Rockin' the Region: Indonesia, at Singapore's finest art complex, Esplanade-Theater on Bay.

They did very well in that series. A few days ago, they just did their second show at the same venue, playing on a bigger stage, the Baybeats Festival 2009.

"Homogenic had earlier performed for our On the Waterfront series for a program called Rockin' The Region: Indonesia and were very well-received," says Esther Masada, programming officer from The Esplanade, explaining why she chose to invite the band back.

And, of course, they made a good impression. They added to a list of Indonesian acts that have played at the festival in previous years. This list includes Everybody Loves Irene, Elemental Gaze and Rock N' Roll Mafia.

"We felt that they could benefit from more exposure as a band by playing on a larger festival platform such as Baybeats. The band plays a very interesting style of electronic music," Esther said.

Their long career has made them easy targets for good gigs like this.

"We didn't make such a big difference in our performance. We played the same songs for this gig; all of them are also played in our regular gigs in Indonesia," says Deena Dellyana, the band's main songwriter and synth player.

"Actually, the biggest concern was our outfit. We did a special arrangement for this gig because we had to impress the local audience who had probably never seen us before," she adds.

Besides Deena, the other members of the band are Risa Saraswati (vocals) and Grahadea Kusuf (programming).

You can have sneak peak of their materials at www.homogenicworld.com and If they are around, go and check them out.

- Felix Dass

Sumber:

http://www.thejakartapost.com/news/2009/08/30/homogenic-performs-again-singapore.html


Senin, 23 November 2009

Runtuhnya Tembok berlin: 20 Tahun Kemudian

Runtuhnya Tembok Berlin: 20 tahun kemudian Cetak E-mail
Ditulis oleh Alan Woods
Senin, 09 November 2009 03:47

Tahun 2009 adalah sebuah tahun yang dipenuhi dengan banyak hari peringatan, termasuk hari peringatan pembunuhan Luxemburg dan Liebknecht, dibentuknya Komunis Internasional, dan Komune Austria. Tidak satupun dari peringatan-peringatan ini yang menemukan gaungnya di pers kapitalis. Tetapi ada satu hari peringatan yang tidak pernah mereka lupakan: pada tanggal 9 November 1989, perbatasan yang memisahkan Jerman Barat dan Timur dibuka.

Runtuhnya Tembok Berlin di dalam sejarah telah menjadi sebuah sinonim untuk runtuhnya “komunisme”. Dalam 20 tahun semenjak peristiwa besar ini, kita telah menyaksikan sebuah ofensif ideologi yang luar biasa besar untuk melawan ide-ide Marxisme dalam skala dunia. Peristiwa ini dijunjung tinggi sebagai bukti matinya Komunisme, Sosialisme, dan Marxisme. Tidak lama yang lalu, ini bahkan dianggap sebagai akhir sejarah. Tetapi semenjak itu roda sejarah telah berputar berkali-kali.

Argumen bahwa sistem kapitalisme adalah satu-satunya alternatif untuk kemanusiaan telah terbukti hampa. Kebenaran yang ada sangatlah berbeda. Pada 20 tahun peringatan runtuhnya Stalinisme, kapitalisme mengalami krisis yang paling dalam semenjak Depresi Hebat. Jutaan rakyat dihadapi dengan masa depan yang dipenuhi dengan pengangguran, kemiskinan, pemotongan anggaran sosial, dan penghematan.

Selama periode ini kampanye anti-komunis ditingkatkan. Alasannya tidaklah sulit untuk dipahami. Krisis kapitalisme yang mendunia ini telah menyebabkan rakyat secara umum mempertanyakan “ekonomi pasar”. Ada kebangkitan rasa ketertarikan pada Marxisme, yang mengkuatirkan kaum borjuis. Kampanye fitnah yang baru ini adalah sebuah refleksi ketakutan mereka.

Karikatur Sosialisme

Yang gagal di Rusia dan Eropa Timur bukanlah komunisme atau sosialisme seperti yang dimengerti oleh Marx dan Lenin, tetapi sebuah karikatur birokratisme dan totalitarianisme. Lenin menjelaskan bahwa gerakan menuju sosialisme membutuhkan kontrol demokratis terhadap industri, masyarakat, dan negara oleh kaum proletar. Sosialisme yang sejati tidaklah kompatibel dengan kekuasaan elit birokrasi yang memiliki hak-hak istimewa, yang niscaya akan ditemani dengan korupsi yang besar, nepotisme, manajemen yang penuh pemborosan, dan kembalinya kapitalisme.

Pada tahun 1980an, Uni Soviet memiliki lebih banyak ilmuwan daripada jumlah seluruh ilmuwan di AS, Jepang, Inggris, dan Jerman; akan tetapi USSR tetap tidak dapat mencapai hasil yang sama seperti di Barat. Dalam aspek-aspek penting seperti produktivitas dan standar hidup, Uni Soviet tertinggal di belakang negara-negara Barat. Sebab utamanya adalah beban yang teramat besar terhadap ekonomi Soviet yang disebabkan oleh kaum birokrasi – jutaan birokrat yang tamak dan korup yang menjalankan Uni Soviet tanpa kontrol dari kelas pekerja.

Kekuasaan birokrasi yang mencekik ini akhirnya menyebabkan penurunan tajam tingkat pertumbuhan USSR. Sebagai akibatnya, Uni Soviet tertinggal di belakang negara-negara Barat. Biaya untuk mempertahankan pengeluaran militer yang tinggi dan biaya untuk mempertahankan kekuasaannya di Eropa Timur semakin menekan ekonomi Soviet. Munculnya seorang pemimpin Soviet yang baru, Mikhail Gorbachev, pada tahun 1985 menandai sebuah perubahan yang besar.

Gorbachev mewakili sayap birokrasi Soviet yang ingin mengadakan reformasi dari atas guna mempertahankan rejim tersebut secara keseluruhan. Akan tetapi, situasi di Uni Soviet menjadi lebih parah di bawah Gorbachev. Ini niscaya menyebabkan sebuah krisis, yang segera mempengaruhi Eropa Timur, dimana krisis Stalinisme diperparah oleh masalah kebangsaan.

Gejolak di Eropa Timur

Pada tahun 1989, dari satu ibukota ke ibukota yang lain, sebuah gelombang pemberontakan menyebar, menjatuhkan satu persatu rejim-rejim Stalinis. Di Rumania, Ceausescu [Sekjen Partai Komunis Polandia dan Presiden Polandia sampai tahun 1989 – Ed.] ditumbangkan oleh sebuah revolusi dan dieksekusi oleh skuad penembak mati. Satu faktor kunci dalam kesuksesan pemberontakan popular ini adalah krisis di Rusia. Di masa lalu, Moskow mengirim Tentara Merah untuk meremukkan pemberontakan-pemberontakan di Jerman Timur (1953), Hungaria (1956), dan Cekoslovakia (1968). Tetapi Gorbachev paham bahwa pilihan ini sudah tidak mungkin lagi.

Pemogokan-pemogokan massa di Polandia pada paruh pertama 1980an adalah sebuah ekspresi awal dari kebuntuan rejim tersebut. Bila gerakan yang besar ini dipimpin oleh kaum Marxis sejati, ini dapat mempersiapkan sebuah dasar untuk revolusi politik, bukan hanya di Polandia tetapi di seluruh Eropa Timur. Tetapi dengan absennya kepemimpinan seperti itu, maka gerakan ini dibajak oleh elemen-elemen konter-revolusioner seperti Lech Walesa.

Awalnya, kaum Stalinis Polandia mencoba untuk menghentikan gerakan ini dengan represi, tetapi pada akhirnya Solidaritas [Serikat Buruh Independen Polandia – Ed.] mendapatkan status legal dan diijinkan untuk berpartisipasi di pemilu tanggal 4 Juni 1989. Yang terjadi selanjutnya adalah sebuah gempa politik. Kandidat-kandidat Solidaritas memenangi semua kursi yang mereka ikuti. Ini memiliki sebuah pengaruh yang besar pada negara-negara tetangga.

Di Hungaria, Janos Kadar – untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi – telah disingkirkan dari posisi Sekjen Partai Komunis pada tahun 1988, dan rejim ini telah mengadopsi sebuah “paket demokrasi”, termasuk pengadaan pemilu. Cekoslovakia segera terpengaruh dan pada tanggal 20 November 1989 jumlah demonstran yang berkumpul di Prague meningkat dari 200 ribu ke 500 ribu. Sebuah mogok umum 2-jam diluncurkan pada tanggal 27 November.

Peristiwa-peristiwa dramatis ini menandai sebuah titik-tolak besar di dalam sejarah. Selama hampir setengah abad setelah Perang Dunia Kedua kaum Stalinis telah memerintah Eropa Timur dengan tangan besi. Rejim-rejim di Eropa Timur adalah negara-negara satu-partai yang kejam, yang didukung oleh aparatus represi yang kuat, dengan tentara, polisi, agen polisi rahasia, dan mata-mata di setiap blok perumahan, sekolah, universitas, dan pabrik. Tampaknya hampir tidak mungkin pemberontakan popular bisa menang melawan kekuasaan sebuah negara totaliter dan polisi-polisi rahasianya. Tetapi pada momen yang menentukan rejim-rejim yang tampak tak terkalahkan ini ternyata hanyalah raksasa dengan kaki dari tanah liat.

Jerman Timur

Dari semua rejim di Eropa Timur, Republik Demokratik Jerman (GDR) adalah salah satu yang paling maju industri dan teknologinya. Standar hidup disana tinggi, walaupun tidak setinggi Jerman Barat. Tidak ada pengangguran, dan semua orang memiliki akses ke perumahan murah, kesehatan gratis, dan pendidikan yang berstandar tinggi.

Akan tetapi kekuasaan dari negara satu-partai yang totaliter, dengan polisi rahasianya (atau yang dikenal dengan nama Stasi) yang ada dimana-mana dan mata-matanya, korupsi para pejabat, dan kekayaan para elit, adalah sumber ketidakpuasan. Sebelum dibangunnya Tembok Berlin pada tahun 1961, sekitar 2.5 juta penduduk Jerman Timur beremigrasi ke Jerman Barat, banyak yang melalui perbatasan antara Berlin Timur dan Barat. Untuk menghentikan ini, rejim Jerman Timur membangun Tembok Berlin.

Tembok ini dan pembatas-pembatas lainnya sepanjang 1380 kilometer perbatasan yang memisahkan Berlin Barat dan Timur berhasil memangkas emigrasi tersebut. Tindakan ini mungkin membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di GDR. Tetapi ini menyebabkan penderitaan dan kesukaran bagi keluarga-keluarga yang terpisahkan dan ini adalah sebuah hadiah propaganda untuk negara kapitalis Barat, yang memberikan satu lagi contoh “tirani Komunis”.

Pada akhir 1980an situasi di GDR penuh dengan gejolak. Kaum Stalinis tua Erich Honecker [Sekjen Partai Komunis Jerman Timur] menentang dengan keras segala bentuk reformasi. Rejim dia bahkan melarang peredaran publikasi-publikasi “subversif” dari Uni Soviet. Pada tanggal 6 dan 7 Oktober, Gorbachev mengunjungi Jerman Timur dalam rangka ulang tahun Republik Demokratik Jerman yang ke 40, dan dia memberikan tekanan kepada kepemimpinan Jerman Timur untuk melakukan reformasi. Dia dikutip mengatakan: “Wer zu spät kommt, den bestraft das Leben” (Dia yang terlalu telat akan dihukum oleh hidup).

Sementara itu rakyat Jerman Timur sudah menjadi lebih memberontak secara terbuka. Gerakan-gerakan oposisi mulai berjamuran. Ini termasuk Neues Forum (Forum Baru), Demokratischer Aufbruch (Kebangkitan Demokrasi), dan Demokratie Jetzt (Demokrasi Sekarang). Gerakan oposisi terbesar terbentuk melalui sebuah pelayanan gereja Protestan di Leipzig di gereja Nikolaikirche, bahasa Jerman untuk gereja Santo Nicholas, dimana setiap Senin setelah pelayanan penduduk berkumpul di luar menuntut perubahan di Jerman Timur. Akan tetapi, gerakan-gerakan ini tidak punya arah dan naif secara politik.

Sebuah gelombang demonstrasi massa sekarang menyapu seluruh kota-kota Jerman Timur, terutama sangat kuat di Leipzig. Ratusan ribu rakyat bergabung di demo-demo ini. Rejim ini memasuki krisis yang menyebabkan tersingkirnya pemimpin Stalinis garis-keras, Erick Honecker, dan mundurnya seluruh kabinet. Di bawah tekanan gerakan massa, pemimpin partai yang baru, Egon Krenz, menyerukan pemilu yang demokratis. Tetapi reformasi-reformasi yang diusulkan oleh rejim ini terlalu kecil dan terlalu terlambat.

Para pemimpin “komunis” ini mempertimbangkan untuk menggunakan kekerasan tetapi merubah pikiran mereka (dengan sedikit desakan dari Gorbachev). Situasi sekarang berputar di luar kendali. Hari-hari selanjutnya hampir seperti anarki: toko-toko buka sepanjang hari, paspor GDR menjadi tiket gratis untuk transportasi publik. Dalam kalimat seorang pengamat: “secara umum tidak ada peraturan pada saat itu”. Kekuasaan ada di jalanan, tetapi tidak ada yang memungutnya.

Dihadapi dengan pemberontakan massa, negara Jerman Timur yang tampak kuat ini runtuh begitu saja. Pada tanggal 9 November 1989, setelah beberapa minggu gejolak massa, pemerintahan Jerman Timur mengumumkan bahwa seluruh penduduk GDR dapat mengunjungi Jerman Barat dan Berlin Barat. Ini adalah sinyal untuk sebuah ledakan massa yang baru. Secara spontan, kerumunan rakyat Jerman Timur memanjati Tembok Berlin untuk menemui rakyat Jerman Barat di seberang.

Konter Revolusi

Tembok Berlin adalah sebuah simbol dan titik utama dari semua yang dibenci di rejim Jerman Timur. Pembongkaran Tembok ini dimulai cukup spontan. Selama beberapa minggu kemudian, beberapa bagian dari Tembok ini mulai dihancurkan. Kemudian mesin-mesin industri digunakan untuk merobohkan seluruh tembok yang tersisa. Ada atmosfer perayaan, sebuah perasaan sukacita, yang tampak lebih seperti sebuah karnival daripada sebuah revolusi. Tetapi ini benar untuk semua tahap awal dari setiap revolusi yang megah, seperti halnya revolusi 1789.

Pada bulan November 1989, penduduk GDR dipenuhi dengan perasaan emosional – sebuah perasaan pembebasan, dipenuhi dengan perasaan sukacita secara umum. Seperti seluruh bangsa mengalami kemabukan, dan oleh karena itu rentan terhadap saran-saran dan impuls-impuls spontan. Menumbangkan rejim yang lama ini ternyata lebih mudah daripada yang diperkirakan oleh semua orang. Tetapi, setelah menumbangkan rejim ini, apa yang akan menggantikannya. Rakyat yang telah menumbangkan rejim lama ini mengetahui dengan pasti apa yang tidak mereka inginkan, tetapi mereka tidak mengetahui dengan jelas apa yang mereka inginkan, dan tidak ada seorangpun yang menawarkan sebuah jalan keluar.

Semua kondisi objektif untuk sebuah revolusi politik sekarang tersedia. Mayoritas populasi tidak menginginkan restorasi kapitalisme. Mereka menginginkan sosialisme, tetapi dengan hak-hak demokrasi, tanpa Stasi, tanpa birokrat-birokrat yang korup, dan tanpa sebuah negara satu-partai yang diktatorial. Bila sebuah kepemimpinan Marxis yang sejati ada pada saat itu, sebuah revolusi politik sudah pasti akan terjadi dan demokrasi buruh akan terbentuk.

Akan tetapi, jatuhnya Tembok Berlin tidak menghasilkan sebuah revolusi politik tetapi konter-revolusi dalam bentuk unifikasi dengan Jerman Barat. Tuntutan ini (unifikasi dengan Jerman Barat) bukanlah tuntutan utama pada awal demonstrasi. Tetapi tanpa adanya sebuah program yang jelas, tuntutan ini dikedepankan dan perlahan-lahan menempati peran utama.

Kebanyakan pemimpin oposisi tidak memiliki program, kebijakan, atau perspektif yang jelas, selain sebuah harapan untuk demokrasi dan hak sipil. Seperti halnya alam, politik membenci vakum. Keberadaan sebuah negara kapitalis yang kuat dan kaya di seberang oleh karena itu memainkan sebuah peran yang menentukan untuk mengisi vakum ini.

Kanselir Jerman Barat Helmut Kohl adalah seorang wakil imperialisme yang agresif. Dia menggunakan penyuapan yang paling tidak tahu malu untuk membujuk rakyat Jerman Timur untuk setuju dengan unifikasi segera, dengan menawarkan menukarkan mata uang Ostmark dengan Deutschmark dengan nilai tukar satu-untuk-satu. Tetapi yang Kohl tidak katakan kepada rakyat Jerman Timur adalah bahwa unifikasi tidak berarti mereka akan menikmati standar hidup Jerman Barat.

Pada bulan Juli 1990, halangan terakhir untuk unifikasi Jerman tersingkirkan ketika Gorbachev setuju untuk menjatuhkan keberatan Uni Soviet terhadap unifikasi Jerman di bawah NATO, sebagai imbalannya adalah bantuan ekonomi yang cukup bear dari Jerman kepada Uni Soviet. Unifikasi Jerman secara formal selesai pada tanggal 3 Oktober 1990.

Rakyat Tertipu

Rakyat Jerman Timur telah tertipu. Mereka tidak diberitahu bahwa introduksi ekonomi pasar akan berarti pengangguran besar-besaran, penutupan pabrik, dan penghancuran hampir seluruh basis industri di GDR, atau peningkatan harga barang, dan demoralisasi kaum muda, atau bahwa mereka akan dianggap sebagai penduduk kelas-dua di negara mereka sendiri. Mereka tidak diberitahukan hal-hal tersebut tetapi mereka telah mengetahuinya dari pengalaman pahit.

Reunifikasi Jerman menyebabkan anjloknya PDB per kapita Jerman Timur, 15.6% pada tahun 1990 dan 22.7% pada tahun 1991, total sepertiga penurunan PDB. Jutaan lapangan pekerjaan hilang. Banyak pabrik-pabrik Jerman Timur yang dibeli oleh kompetitor Barat dan ditutup. Dari tahun 1992, Jerman Timur mengalamai 4 tahun pemulihan ekonomi, tetapi ini diikuti dengan stagnasi.

Sebelum Perang Dunia Kedua, PDB per kapita Jerman bagian timur sedikit lebih tinggi dari rata-rata Jerman, dan Jerman bagian timur pada saat itu lebih kaya dari negara-negara Eropa Timur lainnya. Tetapi 20 tahun setelah unifikasi, standar hidup Jerman Timur masih tertinggal di belakang Jerman Barat. Tingkat pengangguran 2 kali lipat lebih tinggi daripada Jerman Barat, dan upah jauh lebih rendah.

Di GDR tidak ada pengganguran. Tetapi dari tahun 1989-1992 lapangan kerja menurun 3.3 juta. PDB Jerman Timur tidak pernah meningkat lebih dari tingkat PDB tahun 1989, dan lapangan kerja hanya sekitar 60% dari level 1989. Sekarang, tingkat pengangguran di Jerman secara keseluruhan adalah sekitar 8%, tetapi di Jerman Timur sebesar 12.3%. Akan tetapi, perkiraan tidak-resmi memberikan figur setinggi 20%, dan di antara kaum muda 50%.

Perempuan, yang telah mendapatkan persamaan yang tinggi di GDR, seperti di negara-negara Eropa Timur lainnya, sekarang paling menderita. Data dari Panel Sosio-Ekonomi Jerman untuk pertengahan tahun 1990an menemukan bahwa 15 persen perempuan Jerman Timur dan 10 persen laki-laki menggangur.

Pada bulan Juli 1990, “kanselir persatuan”, Helmut Kohl, menjanjikan: “Dengan usaha bersama kita akan segera merubah [daerah Jerman Timur] Mecklenburg-Vorpommern dan Saxony-Anhalt, Brandenburg, Saxony dan Thuringia menjadi daerah yang sejahtera.” 15 tahun kemudian, sebuah laporan dari BBC mengakui bahwa “statistik sangatlah suram.” Walaupun kapital sebesar 1.25 trillion Euro telah diinjeksi, tingkat pengganguran di Jerman Timur masih 18.5% pada tahun 2005 (sebelum resesi sekarang ini) dan di banyak daerah tingkat pengangguran lebih dari 25%.

Halle di Saxony-Anhalt, yang dulunya adalah sebuah pusat industri kimia yang penting dengan lebih dari 315.000 orang, telah kehilangan hampir 1/5 penduduknya. Sebelum Tembok Berlin jatuh pada tahun 1989, “segitiga kimia” Leuna-Halle-Bitterfield menyediakan 100 ribu pekerjaan – sekarang hanya 10,000 yang tertinggal. Gera dulu memiliki industri tekstil dan pertahanan yang besar, dan beberapa pertambangan uranium. Mereka telah hilang, dan hal-hal yang serupa terjadi di banyak industri-industri milik negara sejak 1989.

PBD per kapita Jerman Timur meningkat dari 49% PDB barat pada tahun 1991 hingga 66% pada tahun 1995, dan semenjak itu tidak ada peningkatan lagi. Ekonomi tumbuh sekitar 5,5% per tahun, tetapi ini tidak menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Sebagai akibatnya banyak penduduk yang meninggalkan Jerman Timur. Semenjak unifikasi sekitar 1,4 juta orang telah pindah ke Barat, kebanyakan dari mereka masih muda dan berpendidikan tinggi. Emigrasi dan penurunan tajam kesuburan telah menyebabkan jumlah populasi Timur menurun setiap tahun semenjak unifikasi.

Adalah sebuah ironi sejarah bahwa 20 tahun setelah unifikasi orang-orang meninggalkan Jerman Timur, bukan untuk lari dari Stasi, tetapi untuk lari dari tingkat pengganguran yang tinggi. Tentu saja beberapa orang hidupnya sangat baik. Laporan BBC mengatakan: “Rumah-rumah borjuasi yang megah, yang dulu dipenuhi lubang-lubang peluru dari Perang Dunia Kedua sampai tahun 1989, telah dikembalikan ke kemegahan mereka yang dulu.”

Marxisme Bangkit Kembali

Seperti banyak orang Jerman Timur lainnya, Ralf Wulff mengatakan bahwa dia gembira dengan jatuhnya Tembok Berlin dan gembira melihat kapitalisme menggantikan komunisme. Tetapi kesukacitaan ini tidak bertahan lama. “Hanya butuh beberapa minggu saja untuk melihat apa sesungguhnya ekonomi pasar bebas ini,” kata Wulff. “Ini adalah materialisme dan eksploitasi besar-besaran. Manusia kehilangan arah. Kita tidak memiliki kenyamanan materi tetapi komunisme memiliki banyak hal.” (Laporan Reuters)

Hans-Juergen Schneider, seorang insinyur berumur 49 telah menggangur semenjak Januari 2004. Dia telah mengirim 286 lamaran kerja semenjak itu, tanpa sukses. “Ekonomi pasar tidak dapat menyelesaikan masalah kami,” katanya, “bisnis besar hanya meraup untung tanpa mengambil tanggungjawab.” Dia tidak sendirian. Sebuah survey oleh Der Spiegel menyatakan bahwa 73% rakyat Jerman Timur percaya bahwa kritik Karl Marx terhadap kapitalisme masihlah valid.

Survey lainnya yang dipublikasikan pada bulan Oktober 2008 di majalah Super Illus menyatakan bahwa 52% orang di Jerman Timur menganggap ekonomi pasar “tidak berguna” dan “tidak dapat berfungsi”. 43% memilih sistem ekonomi sosialis, karena “sistem ini melindungi orang-orang kecil dari krisis finansial dan ketidakadilan lainnya”. 55% menolak bailout bank oleh negara.

Dari orang-orang muda (18 sampai 29 tahun), yang tidak pernah tinggal di GDR, atau hanya sebentar saja, 51% menginginkan sosialisme. Angka untuk orang berumur 30 sampai 49 tahun adalah 35%. Tetapi untuk mereka yang lebih dari 50 tahun adalah 46%. Penemuan ini dikonfirmasikan di wawancara-wawancara dengan puluhan rakyat Jerman Timur. “Kita membaca mengenai ‘horor kapitalisme’ di sekolah. Mereka benar. Karl Marx sungguh benar,” kata Thomas Pivitt, seorang pekerja IT berumur 46 dari Berlin Timur. Das Kapital laku terjual untuk penerbit Karl-Dietz-Verlag, terjual lebih dari 1.500 kopi pada tahun 2008, tiga kali lipat dari tahun 2007, dan 100 kali lipat semenjak 1990.

“Semua orang berpikir bahwa tidak akan ada lagi permintaan untuk Das Kapital,” kata direktur manajemen Joern Schuetrumpf kepada Reuters. “Bahkan para bankir dan manejer sekarang membaca Das Kapital untuk mencoba memahami apa yang terjadi. Marx sekarang popular,” katanya.

Krisis kapitalisme telah meyakinkan banyak rakyat Jerman, baik Timur maupun Barat, bahwa sistem ini telah gagal. “Saya dulu mengira komunisme adalah buruh, tetapi kapitalisme bahkan lebih parah,” kata Hermann Haibel, tukang besi berumur 76 yang sudah pensiun. “Pasar bebas sungguhlah brutal. Kaum kapitalis ingin memeras keuntungan lebih, lebih, dan lebih,” katanya. “Saya memiliki kehidupan yang baik sebelum Tembok runtuh,” dia menambahkan. “Tidak ada yang kawatir mengenai uang karena uang tidaklah penting. Kau memiliki pekerjaan bahkan jika kau tidak menginginkannya. Ide komunis tidaklah buruk.”

“Saya pikir kapitalisme bukanlah sistem yang tepat bagi kita,” kata Monika Weber, seorang pegawai kota berumur 46. “Distribusi kekayaan tidaklah adil. Kita melihat itu sekarang. Orang kecil seperti saya harus membayar mahal untuk kekacauan finansial ini dengan pajak yang lebih tinggi karena para bankir yang tamak.”

Yang lebih penting dari survey-survey ini adalah hasil pemilu Jerman baru-baru ini. Partai Kiri meraih kemajuan yang penting, mendapatkan hampir 30% suara di Timur. Di Timur sekarang tidak ada mayoritas untuk partai-partai borjuis. Apa yang jelas ditunjukkan disini adalah bahwa rakyat Jerman Timur tidak menginginkan kapitalisme, tetapi menginginkan sosialisme – bukan karikatur birokratik totaliter dari sosialisme yang mereka miliki sebelumnya, tetapi sebuah sosialisme demokratis yang sejati – sosialismenya Marx, Engels, Liebknecht, dan Luxemburg.

London, 19 Oktober, 2009

Diterjemahkan oleh Ted Sprague dari “The fall of the Berlin Wall: 20 years later”, Alan
Sumber:
Woods.http://www.militanindonesia.org/teori/sejarah/8023-tembok-berlin-20tahun.html


Runtuhnya Tembok berlin: 20 Tahun Kemudian

Runtuhnya Tembok Berlin: 20 tahun kemudian Cetak E-mail
Ditulis oleh Alan Woods
Senin, 09 November 2009 03:47

Tahun 2009 adalah sebuah tahun yang dipenuhi dengan banyak hari peringatan, termasuk hari peringatan pembunuhan Luxemburg dan Liebknecht, dibentuknya Komunis Internasional, dan Komune Austria. Tidak satupun dari peringatan-peringatan ini yang menemukan gaungnya di pers kapitalis. Tetapi ada satu hari peringatan yang tidak pernah mereka lupakan: pada tanggal 9 November 1989, perbatasan yang memisahkan Jerman Barat dan Timur dibuka.

Runtuhnya Tembok Berlin di dalam sejarah telah menjadi sebuah sinonim untuk runtuhnya “komunisme”. Dalam 20 tahun semenjak peristiwa besar ini, kita telah menyaksikan sebuah ofensif ideologi yang luar biasa besar untuk melawan ide-ide Marxisme dalam skala dunia. Peristiwa ini dijunjung tinggi sebagai bukti matinya Komunisme, Sosialisme, dan Marxisme. Tidak lama yang lalu, ini bahkan dianggap sebagai akhir sejarah. Tetapi semenjak itu roda sejarah telah berputar berkali-kali.

Argumen bahwa sistem kapitalisme adalah satu-satunya alternatif untuk kemanusiaan telah terbukti hampa. Kebenaran yang ada sangatlah berbeda. Pada 20 tahun peringatan runtuhnya Stalinisme, kapitalisme mengalami krisis yang paling dalam semenjak Depresi Hebat. Jutaan rakyat dihadapi dengan masa depan yang dipenuhi dengan pengangguran, kemiskinan, pemotongan anggaran sosial, dan penghematan.

Selama periode ini kampanye anti-komunis ditingkatkan. Alasannya tidaklah sulit untuk dipahami. Krisis kapitalisme yang mendunia ini telah menyebabkan rakyat secara umum mempertanyakan “ekonomi pasar”. Ada kebangkitan rasa ketertarikan pada Marxisme, yang mengkuatirkan kaum borjuis. Kampanye fitnah yang baru ini adalah sebuah refleksi ketakutan mereka.

Karikatur Sosialisme

Yang gagal di Rusia dan Eropa Timur bukanlah komunisme atau sosialisme seperti yang dimengerti oleh Marx dan Lenin, tetapi sebuah karikatur birokratisme dan totalitarianisme. Lenin menjelaskan bahwa gerakan menuju sosialisme membutuhkan kontrol demokratis terhadap industri, masyarakat, dan negara oleh kaum proletar. Sosialisme yang sejati tidaklah kompatibel dengan kekuasaan elit birokrasi yang memiliki hak-hak istimewa, yang niscaya akan ditemani dengan korupsi yang besar, nepotisme, manajemen yang penuh pemborosan, dan kembalinya kapitalisme.

Pada tahun 1980an, Uni Soviet memiliki lebih banyak ilmuwan daripada jumlah seluruh ilmuwan di AS, Jepang, Inggris, dan Jerman; akan tetapi USSR tetap tidak dapat mencapai hasil yang sama seperti di Barat. Dalam aspek-aspek penting seperti produktivitas dan standar hidup, Uni Soviet tertinggal di belakang negara-negara Barat. Sebab utamanya adalah beban yang teramat besar terhadap ekonomi Soviet yang disebabkan oleh kaum birokrasi – jutaan birokrat yang tamak dan korup yang menjalankan Uni Soviet tanpa kontrol dari kelas pekerja.

Kekuasaan birokrasi yang mencekik ini akhirnya menyebabkan penurunan tajam tingkat pertumbuhan USSR. Sebagai akibatnya, Uni Soviet tertinggal di belakang negara-negara Barat. Biaya untuk mempertahankan pengeluaran militer yang tinggi dan biaya untuk mempertahankan kekuasaannya di Eropa Timur semakin menekan ekonomi Soviet. Munculnya seorang pemimpin Soviet yang baru, Mikhail Gorbachev, pada tahun 1985 menandai sebuah perubahan yang besar.

Gorbachev mewakili sayap birokrasi Soviet yang ingin mengadakan reformasi dari atas guna mempertahankan rejim tersebut secara keseluruhan. Akan tetapi, situasi di Uni Soviet menjadi lebih parah di bawah Gorbachev. Ini niscaya menyebabkan sebuah krisis, yang segera mempengaruhi Eropa Timur, dimana krisis Stalinisme diperparah oleh masalah kebangsaan.

Gejolak di Eropa Timur

Pada tahun 1989, dari satu ibukota ke ibukota yang lain, sebuah gelombang pemberontakan menyebar, menjatuhkan satu persatu rejim-rejim Stalinis. Di Rumania, Ceausescu [Sekjen Partai Komunis Polandia dan Presiden Polandia sampai tahun 1989 – Ed.] ditumbangkan oleh sebuah revolusi dan dieksekusi oleh skuad penembak mati. Satu faktor kunci dalam kesuksesan pemberontakan popular ini adalah krisis di Rusia. Di masa lalu, Moskow mengirim Tentara Merah untuk meremukkan pemberontakan-pemberontakan di Jerman Timur (1953), Hungaria (1956), dan Cekoslovakia (1968). Tetapi Gorbachev paham bahwa pilihan ini sudah tidak mungkin lagi.

Pemogokan-pemogokan massa di Polandia pada paruh pertama 1980an adalah sebuah ekspresi awal dari kebuntuan rejim tersebut. Bila gerakan yang besar ini dipimpin oleh kaum Marxis sejati, ini dapat mempersiapkan sebuah dasar untuk revolusi politik, bukan hanya di Polandia tetapi di seluruh Eropa Timur. Tetapi dengan absennya kepemimpinan seperti itu, maka gerakan ini dibajak oleh elemen-elemen konter-revolusioner seperti Lech Walesa.

Awalnya, kaum Stalinis Polandia mencoba untuk menghentikan gerakan ini dengan represi, tetapi pada akhirnya Solidaritas [Serikat Buruh Independen Polandia – Ed.] mendapatkan status legal dan diijinkan untuk berpartisipasi di pemilu tanggal 4 Juni 1989. Yang terjadi selanjutnya adalah sebuah gempa politik. Kandidat-kandidat Solidaritas memenangi semua kursi yang mereka ikuti. Ini memiliki sebuah pengaruh yang besar pada negara-negara tetangga.

Di Hungaria, Janos Kadar – untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi – telah disingkirkan dari posisi Sekjen Partai Komunis pada tahun 1988, dan rejim ini telah mengadopsi sebuah “paket demokrasi”, termasuk pengadaan pemilu. Cekoslovakia segera terpengaruh dan pada tanggal 20 November 1989 jumlah demonstran yang berkumpul di Prague meningkat dari 200 ribu ke 500 ribu. Sebuah mogok umum 2-jam diluncurkan pada tanggal 27 November.

Peristiwa-peristiwa dramatis ini menandai sebuah titik-tolak besar di dalam sejarah. Selama hampir setengah abad setelah Perang Dunia Kedua kaum Stalinis telah memerintah Eropa Timur dengan tangan besi. Rejim-rejim di Eropa Timur adalah negara-negara satu-partai yang kejam, yang didukung oleh aparatus represi yang kuat, dengan tentara, polisi, agen polisi rahasia, dan mata-mata di setiap blok perumahan, sekolah, universitas, dan pabrik. Tampaknya hampir tidak mungkin pemberontakan popular bisa menang melawan kekuasaan sebuah negara totaliter dan polisi-polisi rahasianya. Tetapi pada momen yang menentukan rejim-rejim yang tampak tak terkalahkan ini ternyata hanyalah raksasa dengan kaki dari tanah liat.

Jerman Timur

Dari semua rejim di Eropa Timur, Republik Demokratik Jerman (GDR) adalah salah satu yang paling maju industri dan teknologinya. Standar hidup disana tinggi, walaupun tidak setinggi Jerman Barat. Tidak ada pengangguran, dan semua orang memiliki akses ke perumahan murah, kesehatan gratis, dan pendidikan yang berstandar tinggi.

Akan tetapi kekuasaan dari negara satu-partai yang totaliter, dengan polisi rahasianya (atau yang dikenal dengan nama Stasi) yang ada dimana-mana dan mata-matanya, korupsi para pejabat, dan kekayaan para elit, adalah sumber ketidakpuasan. Sebelum dibangunnya Tembok Berlin pada tahun 1961, sekitar 2.5 juta penduduk Jerman Timur beremigrasi ke Jerman Barat, banyak yang melalui perbatasan antara Berlin Timur dan Barat. Untuk menghentikan ini, rejim Jerman Timur membangun Tembok Berlin.

Tembok ini dan pembatas-pembatas lainnya sepanjang 1380 kilometer perbatasan yang memisahkan Berlin Barat dan Timur berhasil memangkas emigrasi tersebut. Tindakan ini mungkin membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di GDR. Tetapi ini menyebabkan penderitaan dan kesukaran bagi keluarga-keluarga yang terpisahkan dan ini adalah sebuah hadiah propaganda untuk negara kapitalis Barat, yang memberikan satu lagi contoh “tirani Komunis”.

Pada akhir 1980an situasi di GDR penuh dengan gejolak. Kaum Stalinis tua Erich Honecker [Sekjen Partai Komunis Jerman Timur] menentang dengan keras segala bentuk reformasi. Rejim dia bahkan melarang peredaran publikasi-publikasi “subversif” dari Uni Soviet. Pada tanggal 6 dan 7 Oktober, Gorbachev mengunjungi Jerman Timur dalam rangka ulang tahun Republik Demokratik Jerman yang ke 40, dan dia memberikan tekanan kepada kepemimpinan Jerman Timur untuk melakukan reformasi. Dia dikutip mengatakan: “Wer zu spät kommt, den bestraft das Leben” (Dia yang terlalu telat akan dihukum oleh hidup).

Sementara itu rakyat Jerman Timur sudah menjadi lebih memberontak secara terbuka. Gerakan-gerakan oposisi mulai berjamuran. Ini termasuk Neues Forum (Forum Baru), Demokratischer Aufbruch (Kebangkitan Demokrasi), dan Demokratie Jetzt (Demokrasi Sekarang). Gerakan oposisi terbesar terbentuk melalui sebuah pelayanan gereja Protestan di Leipzig di gereja Nikolaikirche, bahasa Jerman untuk gereja Santo Nicholas, dimana setiap Senin setelah pelayanan penduduk berkumpul di luar menuntut perubahan di Jerman Timur. Akan tetapi, gerakan-gerakan ini tidak punya arah dan naif secara politik.

Sebuah gelombang demonstrasi massa sekarang menyapu seluruh kota-kota Jerman Timur, terutama sangat kuat di Leipzig. Ratusan ribu rakyat bergabung di demo-demo ini. Rejim ini memasuki krisis yang menyebabkan tersingkirnya pemimpin Stalinis garis-keras, Erick Honecker, dan mundurnya seluruh kabinet. Di bawah tekanan gerakan massa, pemimpin partai yang baru, Egon Krenz, menyerukan pemilu yang demokratis. Tetapi reformasi-reformasi yang diusulkan oleh rejim ini terlalu kecil dan terlalu terlambat.

Para pemimpin “komunis” ini mempertimbangkan untuk menggunakan kekerasan tetapi merubah pikiran mereka (dengan sedikit desakan dari Gorbachev). Situasi sekarang berputar di luar kendali. Hari-hari selanjutnya hampir seperti anarki: toko-toko buka sepanjang hari, paspor GDR menjadi tiket gratis untuk transportasi publik. Dalam kalimat seorang pengamat: “secara umum tidak ada peraturan pada saat itu”. Kekuasaan ada di jalanan, tetapi tidak ada yang memungutnya.

Dihadapi dengan pemberontakan massa, negara Jerman Timur yang tampak kuat ini runtuh begitu saja. Pada tanggal 9 November 1989, setelah beberapa minggu gejolak massa, pemerintahan Jerman Timur mengumumkan bahwa seluruh penduduk GDR dapat mengunjungi Jerman Barat dan Berlin Barat. Ini adalah sinyal untuk sebuah ledakan massa yang baru. Secara spontan, kerumunan rakyat Jerman Timur memanjati Tembok Berlin untuk menemui rakyat Jerman Barat di seberang.

Konter Revolusi

Tembok Berlin adalah sebuah simbol dan titik utama dari semua yang dibenci di rejim Jerman Timur. Pembongkaran Tembok ini dimulai cukup spontan. Selama beberapa minggu kemudian, beberapa bagian dari Tembok ini mulai dihancurkan. Kemudian mesin-mesin industri digunakan untuk merobohkan seluruh tembok yang tersisa. Ada atmosfer perayaan, sebuah perasaan sukacita, yang tampak lebih seperti sebuah karnival daripada sebuah revolusi. Tetapi ini benar untuk semua tahap awal dari setiap revolusi yang megah, seperti halnya revolusi 1789.

Pada bulan November 1989, penduduk GDR dipenuhi dengan perasaan emosional – sebuah perasaan pembebasan, dipenuhi dengan perasaan sukacita secara umum. Seperti seluruh bangsa mengalami kemabukan, dan oleh karena itu rentan terhadap saran-saran dan impuls-impuls spontan. Menumbangkan rejim yang lama ini ternyata lebih mudah daripada yang diperkirakan oleh semua orang. Tetapi, setelah menumbangkan rejim ini, apa yang akan menggantikannya. Rakyat yang telah menumbangkan rejim lama ini mengetahui dengan pasti apa yang tidak mereka inginkan, tetapi mereka tidak mengetahui dengan jelas apa yang mereka inginkan, dan tidak ada seorangpun yang menawarkan sebuah jalan keluar.

Semua kondisi objektif untuk sebuah revolusi politik sekarang tersedia. Mayoritas populasi tidak menginginkan restorasi kapitalisme. Mereka menginginkan sosialisme, tetapi dengan hak-hak demokrasi, tanpa Stasi, tanpa birokrat-birokrat yang korup, dan tanpa sebuah negara satu-partai yang diktatorial. Bila sebuah kepemimpinan Marxis yang sejati ada pada saat itu, sebuah revolusi politik sudah pasti akan terjadi dan demokrasi buruh akan terbentuk.

Akan tetapi, jatuhnya Tembok Berlin tidak menghasilkan sebuah revolusi politik tetapi konter-revolusi dalam bentuk unifikasi dengan Jerman Barat. Tuntutan ini (unifikasi dengan Jerman Barat) bukanlah tuntutan utama pada awal demonstrasi. Tetapi tanpa adanya sebuah program yang jelas, tuntutan ini dikedepankan dan perlahan-lahan menempati peran utama.

Kebanyakan pemimpin oposisi tidak memiliki program, kebijakan, atau perspektif yang jelas, selain sebuah harapan untuk demokrasi dan hak sipil. Seperti halnya alam, politik membenci vakum. Keberadaan sebuah negara kapitalis yang kuat dan kaya di seberang oleh karena itu memainkan sebuah peran yang menentukan untuk mengisi vakum ini.

Kanselir Jerman Barat Helmut Kohl adalah seorang wakil imperialisme yang agresif. Dia menggunakan penyuapan yang paling tidak tahu malu untuk membujuk rakyat Jerman Timur untuk setuju dengan unifikasi segera, dengan menawarkan menukarkan mata uang Ostmark dengan Deutschmark dengan nilai tukar satu-untuk-satu. Tetapi yang Kohl tidak katakan kepada rakyat Jerman Timur adalah bahwa unifikasi tidak berarti mereka akan menikmati standar hidup Jerman Barat.

Pada bulan Juli 1990, halangan terakhir untuk unifikasi Jerman tersingkirkan ketika Gorbachev setuju untuk menjatuhkan keberatan Uni Soviet terhadap unifikasi Jerman di bawah NATO, sebagai imbalannya adalah bantuan ekonomi yang cukup bear dari Jerman kepada Uni Soviet. Unifikasi Jerman secara formal selesai pada tanggal 3 Oktober 1990.

Rakyat Tertipu

Rakyat Jerman Timur telah tertipu. Mereka tidak diberitahu bahwa introduksi ekonomi pasar akan berarti pengangguran besar-besaran, penutupan pabrik, dan penghancuran hampir seluruh basis industri di GDR, atau peningkatan harga barang, dan demoralisasi kaum muda, atau bahwa mereka akan dianggap sebagai penduduk kelas-dua di negara mereka sendiri. Mereka tidak diberitahukan hal-hal tersebut tetapi mereka telah mengetahuinya dari pengalaman pahit.

Reunifikasi Jerman menyebabkan anjloknya PDB per kapita Jerman Timur, 15.6% pada tahun 1990 dan 22.7% pada tahun 1991, total sepertiga penurunan PDB. Jutaan lapangan pekerjaan hilang. Banyak pabrik-pabrik Jerman Timur yang dibeli oleh kompetitor Barat dan ditutup. Dari tahun 1992, Jerman Timur mengalamai 4 tahun pemulihan ekonomi, tetapi ini diikuti dengan stagnasi.

Sebelum Perang Dunia Kedua, PDB per kapita Jerman bagian timur sedikit lebih tinggi dari rata-rata Jerman, dan Jerman bagian timur pada saat itu lebih kaya dari negara-negara Eropa Timur lainnya. Tetapi 20 tahun setelah unifikasi, standar hidup Jerman Timur masih tertinggal di belakang Jerman Barat. Tingkat pengangguran 2 kali lipat lebih tinggi daripada Jerman Barat, dan upah jauh lebih rendah.

Di GDR tidak ada pengganguran. Tetapi dari tahun 1989-1992 lapangan kerja menurun 3.3 juta. PDB Jerman Timur tidak pernah meningkat lebih dari tingkat PDB tahun 1989, dan lapangan kerja hanya sekitar 60% dari level 1989. Sekarang, tingkat pengangguran di Jerman secara keseluruhan adalah sekitar 8%, tetapi di Jerman Timur sebesar 12.3%. Akan tetapi, perkiraan tidak-resmi memberikan figur setinggi 20%, dan di antara kaum muda 50%.

Perempuan, yang telah mendapatkan persamaan yang tinggi di GDR, seperti di negara-negara Eropa Timur lainnya, sekarang paling menderita. Data dari Panel Sosio-Ekonomi Jerman untuk pertengahan tahun 1990an menemukan bahwa 15 persen perempuan Jerman Timur dan 10 persen laki-laki menggangur.

Pada bulan Juli 1990, “kanselir persatuan”, Helmut Kohl, menjanjikan: “Dengan usaha bersama kita akan segera merubah [daerah Jerman Timur] Mecklenburg-Vorpommern dan Saxony-Anhalt, Brandenburg, Saxony dan Thuringia menjadi daerah yang sejahtera.” 15 tahun kemudian, sebuah laporan dari BBC mengakui bahwa “statistik sangatlah suram.” Walaupun kapital sebesar 1.25 trillion Euro telah diinjeksi, tingkat pengganguran di Jerman Timur masih 18.5% pada tahun 2005 (sebelum resesi sekarang ini) dan di banyak daerah tingkat pengangguran lebih dari 25%.

Halle di Saxony-Anhalt, yang dulunya adalah sebuah pusat industri kimia yang penting dengan lebih dari 315.000 orang, telah kehilangan hampir 1/5 penduduknya. Sebelum Tembok Berlin jatuh pada tahun 1989, “segitiga kimia” Leuna-Halle-Bitterfield menyediakan 100 ribu pekerjaan – sekarang hanya 10,000 yang tertinggal. Gera dulu memiliki industri tekstil dan pertahanan yang besar, dan beberapa pertambangan uranium. Mereka telah hilang, dan hal-hal yang serupa terjadi di banyak industri-industri milik negara sejak 1989.

PBD per kapita Jerman Timur meningkat dari 49% PDB barat pada tahun 1991 hingga 66% pada tahun 1995, dan semenjak itu tidak ada peningkatan lagi. Ekonomi tumbuh sekitar 5,5% per tahun, tetapi ini tidak menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Sebagai akibatnya banyak penduduk yang meninggalkan Jerman Timur. Semenjak unifikasi sekitar 1,4 juta orang telah pindah ke Barat, kebanyakan dari mereka masih muda dan berpendidikan tinggi. Emigrasi dan penurunan tajam kesuburan telah menyebabkan jumlah populasi Timur menurun setiap tahun semenjak unifikasi.

Adalah sebuah ironi sejarah bahwa 20 tahun setelah unifikasi orang-orang meninggalkan Jerman Timur, bukan untuk lari dari Stasi, tetapi untuk lari dari tingkat pengganguran yang tinggi. Tentu saja beberapa orang hidupnya sangat baik. Laporan BBC mengatakan: “Rumah-rumah borjuasi yang megah, yang dulu dipenuhi lubang-lubang peluru dari Perang Dunia Kedua sampai tahun 1989, telah dikembalikan ke kemegahan mereka yang dulu.”

Marxisme Bangkit Kembali

Seperti banyak orang Jerman Timur lainnya, Ralf Wulff mengatakan bahwa dia gembira dengan jatuhnya Tembok Berlin dan gembira melihat kapitalisme menggantikan komunisme. Tetapi kesukacitaan ini tidak bertahan lama. “Hanya butuh beberapa minggu saja untuk melihat apa sesungguhnya ekonomi pasar bebas ini,” kata Wulff. “Ini adalah materialisme dan eksploitasi besar-besaran. Manusia kehilangan arah. Kita tidak memiliki kenyamanan materi tetapi komunisme memiliki banyak hal.” (Laporan Reuters)

Hans-Juergen Schneider, seorang insinyur berumur 49 telah menggangur semenjak Januari 2004. Dia telah mengirim 286 lamaran kerja semenjak itu, tanpa sukses. “Ekonomi pasar tidak dapat menyelesaikan masalah kami,” katanya, “bisnis besar hanya meraup untung tanpa mengambil tanggungjawab.” Dia tidak sendirian. Sebuah survey oleh Der Spiegel menyatakan bahwa 73% rakyat Jerman Timur percaya bahwa kritik Karl Marx terhadap kapitalisme masihlah valid.

Survey lainnya yang dipublikasikan pada bulan Oktober 2008 di majalah Super Illus menyatakan bahwa 52% orang di Jerman Timur menganggap ekonomi pasar “tidak berguna” dan “tidak dapat berfungsi”. 43% memilih sistem ekonomi sosialis, karena “sistem ini melindungi orang-orang kecil dari krisis finansial dan ketidakadilan lainnya”. 55% menolak bailout bank oleh negara.

Dari orang-orang muda (18 sampai 29 tahun), yang tidak pernah tinggal di GDR, atau hanya sebentar saja, 51% menginginkan sosialisme. Angka untuk orang berumur 30 sampai 49 tahun adalah 35%. Tetapi untuk mereka yang lebih dari 50 tahun adalah 46%. Penemuan ini dikonfirmasikan di wawancara-wawancara dengan puluhan rakyat Jerman Timur. “Kita membaca mengenai ‘horor kapitalisme’ di sekolah. Mereka benar. Karl Marx sungguh benar,” kata Thomas Pivitt, seorang pekerja IT berumur 46 dari Berlin Timur. Das Kapital laku terjual untuk penerbit Karl-Dietz-Verlag, terjual lebih dari 1.500 kopi pada tahun 2008, tiga kali lipat dari tahun 2007, dan 100 kali lipat semenjak 1990.

“Semua orang berpikir bahwa tidak akan ada lagi permintaan untuk Das Kapital,” kata direktur manajemen Joern Schuetrumpf kepada Reuters. “Bahkan para bankir dan manejer sekarang membaca Das Kapital untuk mencoba memahami apa yang terjadi. Marx sekarang popular,” katanya.

Krisis kapitalisme telah meyakinkan banyak rakyat Jerman, baik Timur maupun Barat, bahwa sistem ini telah gagal. “Saya dulu mengira komunisme adalah buruh, tetapi kapitalisme bahkan lebih parah,” kata Hermann Haibel, tukang besi berumur 76 yang sudah pensiun. “Pasar bebas sungguhlah brutal. Kaum kapitalis ingin memeras keuntungan lebih, lebih, dan lebih,” katanya. “Saya memiliki kehidupan yang baik sebelum Tembok runtuh,” dia menambahkan. “Tidak ada yang kawatir mengenai uang karena uang tidaklah penting. Kau memiliki pekerjaan bahkan jika kau tidak menginginkannya. Ide komunis tidaklah buruk.”

“Saya pikir kapitalisme bukanlah sistem yang tepat bagi kita,” kata Monika Weber, seorang pegawai kota berumur 46. “Distribusi kekayaan tidaklah adil. Kita melihat itu sekarang. Orang kecil seperti saya harus membayar mahal untuk kekacauan finansial ini dengan pajak yang lebih tinggi karena para bankir yang tamak.”

Yang lebih penting dari survey-survey ini adalah hasil pemilu Jerman baru-baru ini. Partai Kiri meraih kemajuan yang penting, mendapatkan hampir 30% suara di Timur. Di Timur sekarang tidak ada mayoritas untuk partai-partai borjuis. Apa yang jelas ditunjukkan disini adalah bahwa rakyat Jerman Timur tidak menginginkan kapitalisme, tetapi menginginkan sosialisme – bukan karikatur birokratik totaliter dari sosialisme yang mereka miliki sebelumnya, tetapi sebuah sosialisme demokratis yang sejati – sosialismenya Marx, Engels, Liebknecht, dan Luxemburg.

London, 19 Oktober, 2009

Diterjemahkan oleh Ted Sprague dari “The fall of the Berlin Wall: 20 years later”, Alan Woods.

Sabtu, 14 November 2009

Steve Taylor Batal Hengkang?
Kamis, 12 November 2009 12.50 WIB

foto:rockthisway.de

(Vibizlife – Music News) Vokalis Aerosmith, Steven Taylor membantah dirinya telah meninggalkan grup band tersebut.

Beberapa waktu lalu gitaris Aerosmith, Joe Perry mengeluarkan pernyataan bahwa Steven Tyler hengkang sebagai vokalis. Kurangnya komunikasi antara Steven dan personel lainnya jadi salah satu penyebab.

Berita tersebut heboh berat. Namun Steven tak jua mau bicara. Hingga akhirnya Steven terlihat membantu pentas Joe di Filmore, New York, 10 November waktu setempat.

Dalam kesempatan tersebut ayah model Liv Tyler itu angkat bicara. Ia membantah dirinya meninggalkan Aerosmith yang telah eksis selama 40 tahun itu.

"Saya hanya mau New York tahu, saya tidak meninggalkan Aerosmith," teriak Steven di atas pentas dikutip dari NME.

Bagi Steven, Aerosmith adalah keluarga. Ia mengaku tak akan meninggalkan Aerosmith terutama Joe yang telah lama menjadi rekan kerjanya tersebut.

"Joe Perry, kamu adalah pria dengan banyak warna, tapi saya adalah pelangi!," teriaknya lagi.

Sumber; www.vibizlife.com/music_news_details.php?id

Sulit dipercaya kalo steven tylor hengkang dari aerosmith, jujur saya tahu kabar yang aneh tersebut pertama kali dari wall teman saya, awalnya saya tidakpercaya, namun setelah saya googling beberapa sites ubtuk mengkonfirmasi kabar tersebut, ternyata memeng benar Stven Tylor sang vokaclis Aerosmith telah hengkang dari BAnd yang telah membesarkan para personilnya termasuk Steven Tylor

Jumat, 13 November 2009

Homogenic, Reformed

Ini adalah salah satu pemberitahuan perihal hengkangnya Rissa Saraswati sang vocalis Homogenic yang saya peroleh dari Facebook HOMOGENIC;



Hello Friends...


We're sorry to announce you that Risa Saraswati, vocalist of Homogenic, have decided to resign

from Homogenic due to dissimilarity of Risa's and Homogenic's future plans. We agreed that this

will be the best option for both of us.

We aware that the resignment of Risa, will be a big change for Homogenic and Fans, but We hope

everything will be okay, looking, listening, praying that things are changing for the better.

At this time, We're still currently working hard to make sure that everything's going well; our

upcoming third album, the new formation, and Homogenic's future.

One thing we dare to assure you, that our upcoming third album, will be one of the most

inspiring work for Homogenic, Risa, and our beloved friends who appreciate our previous works.


Thank you very much for your concern, we love you all!


Best Regards,

Dina Dellyana, Grahadea Kusuf, and Homogenic Management.

--------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------

Hello Teman-teman Homogenic,


Dengan berat hati, kami mengumumkan bahwa Risa Saraswati, vokalis Homogenic, telah memutuskan

untuk berpisah dengan Homogenic dikarenakan perbedaan rencana masa depan antara Risa dan Homogenic.

Kami telah bersepakat bahwa perpisahan ini adalah keputusan terbaik bagi kami semua.

Kami sadar bahwa perpisahan Homogenic dengan Risa, akan memberi perubahan besar bagi Homogenic dan Fans, namun kami terus berharap dan berdoa bahwa semua akan berubah menuju sesuatu yang lebih baik lagi.

Saat ini, kami sedang berusaha keras untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik; Album

ketiga kami, formasi baru Homogenic, dan masa depan Homogenic.

Satu hal yang dapat kami pastikan, bahwa album ketiga yang akan datang, akan menjadi salah satu karya kami yang paling menginspirasi Homogenic, Risa, dan teman-teman yang menyukai karya kami sebelumnya.


Terima kasih banyak atas perhatiannya,We love you all!
Best Regards,

Dina Dellyana, Grahadea Kusuf, and Homogenic Management.

SUMBER:http://www.facebook.com/home.php?ref=home#/notes/homogenic
/homogenic-reformed/153822678505

Rabu, 04 November 2009

Sade at work on first album in nine years

By Monica Herrera and David J. Prince

NEW YORK (Billboard) - Sade Adu, the reclusive "quiet storm" soul signer who takes notoriously long breaks between releases, has regrouped with the band that bears her name and is recording her first album of new material since 2000's "Lovers Rock," Billboard.com sources confirmed.

The group is in the studio through June. Sony has not set a release date but hopes to put the record out by the end of 2009.

"She is in the studio and the album will come when it is ready," a source at Sony told Billboard. "You don't wait for years for one and then rush it."

Sade's longtime bandmate Stuart Matthewman, a.k.a. Cottonbelly, also confirmed that new material is in the works, but he said the project is still in its "early days" and won't be close to finished until "later in the year."

Last week, rumors of a new Sade album surfaced when the official-looking website sade2009.com went live with a message claiming a release date of November 24 for a new album. The source at Sade's label denied any connection to that site. "We do not know where that fan site could have got that release date from, but it is 100 percent not true."

Billboard contacted the site's owner, who insisted that the release date was "official." Since his response, however, the site's posting has been updated with a correction: "The date above has been changed, a representative from Sony confirmed the new date to be unknown. Please check back for the update on Sade's album release."

No details about Sade's new music have yet been revealed, but one artist may already have heard snippets: Maxwell, a fellow Sony recording artist and longtime friend and collaborator with Matthewman, who will soon release a new record of his own after a multiyear hiatus. The R&B singer sent a message to fans in March via his private Facebook page in which he indicated that he'd heard some of his labelmate's new recordings. "Trust me, it's so monolithic it'll shake you in your shoes!" he wrote.

Sade's 2000 release, "Lovers Rock," sold 3.9 million copies in the U.S., and her previous album, 1992's "Love Deluxe," sold 3.4 million. Since her 1985 debut, "Diamond Life," Sade has sold nearly 17 million units in the U.S. alone, according to Nielsen SoundScan.

(Editing by Sheri Linden at Reuters)

http://www.reuters.com/article/entertainmentNews/idUSTRE55105420090602

Sade adalah salah satu musisi wanita yang sangat saya kagumi, setiap lirik lagu-lagu sade merupakan gambaran dari suatu realita hidup yang biasanya dipandang sebelah mata, contohnya pearl yang menggambarkan ke dalam makna hidup dimana seorang wanita harus berjuang untuk menentukan hidup yang jauh lebih baik, intinya bukan sekedar cinta belaka, artinya dalam setiap realita dapat ditangkap setiap cuplikan hidup yang digambarkan ulang melalui lirik dan notasi nada.