Label

Kamis, 27 November 2014

Hari ini saya hendak menulis tepatnya menyadur penuh sebuah artikel yang pernah dimuat dan ditulis oleh Almarhum ibu Elise T Erwin, yang juga merupakan dosen pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, ada pun artikel yang beliau tulis merupakan salah satu materi kuliah dalam hukum pidana dan sangat jarang dibahas oleh para kalangan akademisi, artikel yang beliau tulis adalah Eutanasia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, yang dimuat dalam jurnal hukum HONESTE VIVERE, Volume XII, Desember 2000, ISSN-No 0215-8922, hal 247-253, saya hanya sepenuhnya menyadur tanpa memberikan argumentasi apapun, tujuan saya menyadur karya beliau adalah sebagai bahan refrensi mahasiswa yang hendak menulis atau sedang melakukan penulisan hukum yang kesulitan untuk mencari referensi tentang eutanasia

Eutanasia Dalam Perspektif
Hak Asasi Manusia

Elise T Erwin(dosen tetap pada Fakultas hukum
Universitas Kristen Indonesia)

Abstrak


Hukum alam dan hukum agama serta kepercayaan terhadap Tuhan YME telah menggariskan bahwa semua mahluk hidup yang bernyawa termasuk manusia tidak dapat menghindar dari kematian . Eksistensi hak untuk mati melalui kematian yang sengaja demi kepentingan pasien semata-mata maupun pihak lain (eutanasia), banyak menimbulkan pro dan kontra pendapat dari berbagai kalangan/ahli termasuk para dokter dan juga para ahli hukum . Hak asasi manusia di Indonesia adalah hak asasi yang sesuai dengan Kepribadian dan falsafah /pandangan hidup bangsa indonesia yakini pancasila yang merumuskan sila -silanya tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Hak untuk hidup merupakan hak yang paling asasi dari semua hak-hak asasi manusia, bahkan PBB mencantumkannya dalam Univesal Declaration of Human Rights, yang disahkan pada tanggal 10 desember 1948.


Pendahuluan
Kematian bagi sebagian manusia adalah merupakan suatu peristiwa yang tidak menyenangkan, bahkan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun demikian doktrin humum alam serta hukum berbagai agama dan kepercayaan telah menggariskan, bahwa tidak ada satu pun mansia yang bernyawa dapat terhindar dari kematian. Meskipun mengetahui bahwa kematian tidak mungkin dihindari, manusia dengan segala daya upayanya, dari abad ke abad, dari berbagai cara yang bersifat tradisional(konvensional) hingga yang paling canggih, senantiasa memaksimalkan untuk datangnya kematian. Bahkan keberhasilan memperpanjang  jangka kehidupan manusia dijadikan sebagai tolak ukur kemajuan bangsa.
Oleh demikian halnya, hampir seluruh dunia tersentak kaget dengan dicetuskan dan diterimanya eutanasia sebagai cara yang legal untuk mengakhiri hidup seseorang , bagaimana tidak? bukankah seseorang yang melenyapkan nyawa orang lain atas permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh dari orang itu sendiri, bisa juga dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa.
Permasalahan tersebut di atas  menarik perhatian penulis untuk membahasnya dalam makalah ini, mengingat disatu pihak bahwa secara proporsional perbuatan tersebut sudah dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa oelh hukum pidana kita sebagaimana termaktub di dalam rumusan pasal 344 KUHP. Namun dilain pihak, konstruksi dari rumusan pasal 344 KUHP tersebut dewasa ini mulai goyah diterpa oleh gencar dan pesatnya perkembangan teknologi kedokteran serta perubahan visi sosio-kultur kemasyarakatan terhadap hak-hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup.

Apa itu Eutanasias?
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunai "eutanasia", di mana pengertian gramatikal dari suku kata "eu", yang artinya normal, baik atau sehat dan thanatos",  yang artinya mati, sehingga secara harafiah bermakna mati secara baik dan mudah tanpa penderitaan.
Namun dihadapkan kepada pernertian di kalangan medis nampak adanya pergeseran makna. Secara harafiah pengertian eutanasia berupa "kondisi" atau "kedaan tertentu", sedang dilakangan medis berubah menjadi "upaya menciptakan kondisi tersebut" Hal mana dapat dimengerti karena dunia medis sehari-hari bergelut diantaranya dengan manusia-manusia yang sedang menderita sebagai akibat penyakitnya dan para tenaga medis berjuang membantu pasien  terbebas dari penderitaan mereka.
Pengertian eutanasia di kalngan medis akan lebih dikaitkan dengan kegiatan/upaya membantu pasien untuk membebaskan diri dari penderitaanya, sehingga istilah eutanasia berarti membantu seseorang untuk meninggal dunia cepat demi membebaskannya dari penderitaannya akibat penyakitnya.Kematian yang sengaja dibuat demi kepentingan pasien semata-mata dan sama sekali bukan untuk kenyamanan orang yang sehari-hari berada disekitarnya , nampaknya menjadi tolak ukur kriteria pembahasa/defini eutanasia. Hal ini dapat dilihat dari statment Fred Ameln, yang menyatakan bahwa:
                   "Eutanasia yaitu dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakuakan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien dan semua itu dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri"

Selanjutnya dalam hal pergertian eutanasia tersebut, Ikatan Dokter Indonesia sepakat menggarikannya sebagai berikut:
  1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan dan bagi yang beriman menyebut nama Allah di bibir;
  2. Waktu hidup akan berakhir (sakratul maut) penderitaan penderita diringankan dengan memberikan obat penenang;
  3.  Mengakhiri penderitaan dan hidup menderita dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya       
Mencermati dari beberapa definisi tersebut maupun batasan atau pengertian eutanasia sebagaiman tersebut di atas, maka dapatlah disimpulkan di sini bahwa pertolongan pihak lain/ketiga adalah faktor esensial di dalam penyelenggaraan pengakhiran kehidupan seorang(pasien). Pertolongan dimaksud bisa atas permintaan pasien itu sendiri ataupun keluarganya.
Secara garis besar, eutanasia dikelompokkan menjadi dua yaitu eutanasia pasif dan eutanasia aktif. Pandangan yang sedemikan ini mendasarkannya pada cara eutanasia dilakukan.
Dikatakan eutanasia pasif (baik atas permintaan atau tidak atas permintaan pasien), yaitu ketika dokter atau tenaga kesehatan lain tidak lagi memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, dengan catatan bahwa perawatan rutin yang optimal untuk mendapingi/membantu pasien dalam fase terakhirnya sudah diberikan.
Sedangkan eutanasia aktif (baik atas permintaan atau tidak atas permintaan pasien), ketika dokter atau tenaga kesehatan lain dengan sengaja  melakukan tindakan untuk memperpendek hidup pasien atau mengakhiri dihidup pasien tersebut.
Berdasarkan akibatnya, eutanasia aktif tersebut dibagi menjadi dua golongan yaitu eutanasia aktif langsung dan eutanasia aktif tidak langsung. Dalam  eutanasia aktif langsung, cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien; misal memberikan tablet sianiada atau suntikan zat yang akan segera mematikan. Sedangkan  eutanasia aktif tidak langsung, tindakan medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa resiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien, misalnya mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya
Pandangan Fred Ameln tersebut di atas, nampaknya tidak serinci pandangan Ronald Yezzi, disamping mengemukakan eutanasia aktif dan eutanasia pasif masih dibagi lagi menjadi:
  1. Eutanasia sukarela, yakni mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan pasien. Ada kalanya tidak harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari pasien , asal ada bukti-bukti yang mendukung misalnya saksi;
  2. Eutanasia tidak sukarela (involuntery), yakni mempercepat kematian tanpa permintaan atau persetujuan pasien, atau bahkan bertentangan dengan kehendak pasien;
  3. Eutanasia nonvoluntery, yakni mempercepat kematian dengan keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (keluarga), atau atas keputusan pemerintah;
Di segi lain, Thiroux membagi eutanasia dar aspek filosisnya, yang rinciannya sebagai berikut:
  1. Membiarkan seseorang mati (allowing someone to die), yakni membiarkan seseoarang mati dengan tenang, terhormat (with dignity) dan nyaman diakrenakan pada titik tertentu pasien sudah dalam keadaan terminal;
  2. Bantuan untuk bunuh diri (mercy death), yakini tindakan membantu pasien penderita penyakit untuk mengakhiri hidupnya;
  3. Bantuan untuk mati (mercy killing), yakini tindakan langsung untuk menghentikan hidup seorang pasien penderita penyakit terminal tanpa persetujuan itu sendiri;
Sehubungan dengan jenis eutanasia tersebut, Prof. Mr HJJ. Lennen, Guru Besar fakultas hukum dan Fakultas kedokteran di Universitas Amsterdam, mensinyalir bahwa duna medis kadang-kadang dapat disaksikan bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang bukan eutanasia, akan tetapi mirip dengan eutanasia. Bentuk-bentuk pengakhiran hidup dimaksud antara lain:
  1. Pengakhiran perawatan paseien karena gejala mati batang otak(barindeath), untuk mengetahui bahwa pasien sudah mengalami mati batang otak, maka diagnosisnya : pasien tidak lagi bereaksi terhadap stimulus, tidak ada tanda-tanda terjadinya pernapasan spontan, tidak ada lagi refleks dan EEG (Elektro Encephalo Gram)nya datar;
  2. Pengakhiran hidup seseorang karena keadaan darurat(emergency) kedaan darurat dalam hal ini haruslah sedemikan rupa, sehigga dokter ataupun tenaga medis benar-benar tidak ada pilihan lain(noodzakelijk) untuk terpaksa bertindak demikian;
  3. Memberhentikan perawatan medis ini, kondisi harus diyakini bawah secara medis seorang dokter tidak lagi berkompeten(niet bevoged) utuk melakukan tindakan perawatan medis;
  4. Menolak perawatan medis, seoarang pasien yang mati akibat tidak mendaptkan perawatan medis atas kehendaknya sendiri, maka terhadap dokter/paramedisnya tidak dapat dikatakan melakukan eutanasia. Hal ini karena sejak awal dokter/paramedis tidak berhak melakukan suatu tindakan medis apabila pasien tidak mengkehendakinya;
Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas, maka dapatlah kita bandingkan bahwa perawatan secara medis eutanasia dapat dibedakan dengan bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang bukan eutanasia.


Perspektif Hak Asasi Manusia Terhadap Eutanasia

Nyawa merupakan milik manusia yang paling bernilai harganya, karena nyawalah manusia dapat hidup. Sehubungan dengan hal itu, keberadaan hak untuk hidup sudah lama diakui dan dilegitimasi sebagai salah satu hak asasi manusia, bahkan hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang paling asasi. Oleh karena itu wajar apabila sila ke-1 dan sila ke-2 pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradap, alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 serta pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyiratkan pentingnya hak untuk hidup tersebut. 
Eksistensi dari hak untuk hidup dimaksud sedemikian hebat dan urgennya, sehingga didalam penegakkannya banyak melibatkan organisasi perjuangan hak-hak asasi manusia di berbagai negara. Oleh karenanya, bagaikan disambar petir di siang hari, kelompok ini kaget bukan main oleh keberadaan kelopok lain yang memperjuangkan hak untuk mati sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Pandangan yang mendukung adanya hak untuk mati ini terutama muncul dengan tumbuhnya gagasan tentang hak menentukan nasib sendiri, sebagaimana keputusan hakim Cordozo di pengadilan New York terhadap kasus pasies melawan rumah sakit pada tahun 1914 dimana diputuskan:         

 "Setiap manusia dewasa dan mempunyai pikiran yang sehat, mempunyai hak untuk untuk menentukan apa   yang akan atau boleh diperbuatnya atas dirinya"

Meskipun keputusan tersebut di atas tidak berkaitan dengan masalah eutanasia, namun oleh kelompok yang menyetujui eutanasia putusan itu dijadikan landasan argumentasinya.
Esistensi hak untuk mati dimaksud, dari hari ke hari semakin meperoleh dukungan dari berbagai pihak seperti di bawah ini:
  1. Deklarasi Persatuan Dokter sedunia(World Medical Association) yang dislenggarakan di Lisabaon, pada tahun 1981, dimana diakui hak-hak pasien yang antara lain berupa hak untuk mati (the right to die in dignity);
  2. Sikap kalangan praktisi hukum di eropa yang pada umumnya cenderung menghormati hak pasien untuk menetapkan nasib dirinya, hal ini sebagai mana diungkapkan oleh Paula Kokkonen bahwa konsep yang berlaku yang termuat di dalam Petunjuk Perawatan Penyakit Terminal, disebutkan bahwa pasien itu sendiri berhak memutuskan apakah ia bersedia diobati atau tidak;
  3. Paham yang dianut Di Amerika Serikat seperti yang diungkapkan oleh John C Cameron, bahwa seorang pasien yang menderita penyakit yang tidak mungkin disembuhkan, mempunyai hak konstitusional untuk menolak pengobatan yang hanya ditujukan untuk memperpanjang proses kematiaanya;
namun demikian, betapun perumusan hak untuk mati nampaknya kurang begitu jelas, hal ini dikarenakan di samping hak tersebut bertentangan dengan kodrat manusia itu sendiri, juga bagaimana situasi dan kondisi di sekitar pasien saat menginginkan hak kematiannya. dalam hal ini pandangan dan pendapat para psikiater serta ahli agama jelas meragukan keinginan si pasien tersebut, dikarenakan doktrin psikologi dan dogma agama mengemukakan sebaliknya hak untuk mat, yakini:
  1. Konsep psikologi :dalam kondisi kognitif maupun depresif kepribadian pasien yang labil dan pesimistis terhadap hidupnya bukanlah cetusan nuraninya yang dalam hal praktis tidak bisa dikatakan sebagai hak;
  2. Konsep Teologi: Bahwa dalam kondisi payah, seseorang diharamkan berputus asa dari rahmat Tuhan, sebab bagaimanapun juga segala sesuatu pasti ada penyelesaiannya tanpa harus mengingkari Hukum Tuhan dan Hukum Alam;
Kedua konsep di atas apabila direlevansikan  dengan ketentuan sila ke-1 dan ke-2 pancasila, alinea ke-4 Pembukaan UUD1945, serta pasal 27 ayat (2) UUD 1945, dapat dikemukakan suatu pembenaran signifikan bahwa hak untuk hidup diakui dan dilindungi eksistensinya oleh landasan ideal dan konstitusional.
Hak-hak asasi manusia yang berlaku di Indonesia adlaah hak-hak asasi yang sesuai dengan kepribadian dan falsafah/pandangan hidup bangsa Indonesia, yakini Pancasila dan UUD 1945. Bagi bangsa Indonesia, hak asasi merupakan hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya dan tidak dapat dipisahkan dari hakekatnya, dan karena itu bersifat suci.
Dengan demikian di samping PAncasila dan UUD 1945 bersubstansikan ketentuan-ketentuan tentang hak-hak asasi manusia sebagaimana termaktub dalam Universal Declaration of Human Rigaht(yang disahkan kurang lebih tiga tahun berselang ssesudah disahkan UUD 1945), juga ketentuan-ketentuan kultural dan agama.
Sehubungan dengan eksistensi hak untuk mati sebagaimana didengungkan negara-negara barat, maka sikap Indonesia adalah jelas tidak mengakui adannya hak tersebut. Hal ini dikarenakan kondisi Sosio cultural dan religi bangsa Indonesia tidak sepaham, dan bahkan mengharamkannya, sebab masalah kematian adalah mutlak urusan Tuhan, bukan hak manusia untuk menentukan kapan dan dimana ia harus mati. 
 
 Konsekuensi logisnya, sikap hukum di Indonesia terhadap hak untuk mati tersebut adalah menjadikannya  sebagai tindak  pidana sebagaimana termaktub di dalam ketentuan pasal 344 KUHP. Mengapa demikian? Hal ini cukup jelas, sebab keberadaan hukum pidana mempertahankan dan atau melindungi hak-hak publik yang bersifat umum, diantaranya adalah hak untuk hidup.

Penutup
Pandangan kultural dan juga persepsi agama(teologi) tentang kematian, menyebabkan manusia melihat eksistensi mati pertama-tama  dari aspek moralitas, baru kemudian aspek sosial dan aspek teknis. Dalam hal ini, Josep Fletcter menyatakan bahwa:

"Pilihan dan tanggung jawab adalah inti dari etika, dan merupakan sine qua non dari sikap moral manusia. Hidup, kesehatan, dan mati adalah isu moral, kita dapat dan harus berbuat sesuatu terhadapnya. Oleh karena tiu untuk setiap pilihan yang kita lakukan terhadap hidup, kesehatan atau kematian, kita juga dibebani tanggung jawab secara moral"

Berangkat dari pandangan awal manusia terhadap eksistensi kematian tersebut di atas maka keberadaan eutanasia yang merupakan pencerminan dari hak untuk mati adalah nyata dan jelas sekali bertentangan.
Disamping itu, dapat pula disimpulkan dalam makalah ini bahwa antara eutanasia yang dilarang di Indonesia keberadaannya dilarang berdasarkan ketentuan pasal 344 KUHP dengan hak asasi manusia (hak untuk hidup) memiliki relevansi terminalogi yang akurat duntukdijadikan perspektif guna mengetahui, menganalisa, bahkan menguji eksistensi eutanasia sebagai suatu intervensi yang bersifat sah untuk melenyapkan nyawa orang lain atas permintaannya sendiri.

Daftar Pustaka
  1. Ameln.Fred, Eutanasia: Suatu Masalah etis-Medis-Yuridis, ditinjau dari segi Yuridis, Simposium Eutanasia, Jakarta, 24 November 1984.
  2. Appelbaum. Paul S., Informed Consent, Legal Theory dan Clinic Practice, Oxord University Press, New York, 1987.
  3. Cameron. John C., Death anf Dyig- Patient in Interest, World Conggres on Medical Law, 1985.
  4. Kuncoro Purbopranoto, Hak-hak Asasi Manusia dan Pancasila, Pradnya Paramita, Jakarta,1976.
  5. Kokkonen. Paula., Death and Dying, Duties of the Doctor-rights of the patient, World Conggres on Medical Law, Gent, 1985.
  6. Kode Etik Kedokteran Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia, 1992.
  7. Thiroux. Jacques P., Etic, Theory and Practice, Second Edition, Glencoe Publihing Co., Inc.Encino, California, 1980.
  8. Yezzi. Ronald., Medical Ethic, Thinking about Unviodable Questions, Holt, Rienhart and Winston, New York, 1980

Sabtu, 11 Oktober 2014

Sebuah Penilaian kecil dari sebuah Halusinasi

Hampir 4 hari saya sempatkan menonton sebuah film K-Drama disebuah situs, tentunya kenapa saya tertarik menonton karena artis korea yang saya kenal mungkin cuma atau hanya satu-satunya yang saya ingat namanya Gong Hyojin, ada dua film yang saya sudah selesai saya nonton, yaitu The Mater Sun's dan it's okay, that love, sebelumnya film-film drama yang sempat tayang di tv lokal dan pernah saya pernah menontonnya yaitu pasta dan thank you, dan satu lagi sebuah film Horor Memento Mori, yang merupakan awal karirnya sebagai pemeran pendukung, hampir beberapa hari saya menonton kedua film tersebut, The Master Sun's menceritakan seorang gadis Tae Kong-Sil (Sun) yang diperankan oleh Gong Hyongjin yang bisa berkomunikasi dan melihat hantu, dan kemudian bertemu dengan seorang pria Joo Joong-Won yang dipernkan oleh So Ji-Sub yang mempunyai masa lalu yang kelam yang menyebabkan pria tersebut tidak bisa membaca aksara korea, masa lalunya disebabkan ketika masih remaja pria tersebut berpacaran, nah sang  Hwang Sun-hee yang diperanakan oleh won han bo reum mempunyai kembaran Nana, cerita singkatnya karena sang kakak takut menyatakan cinta maka sang adik yang maju untuk membantu sang kakak, ironisnya kedua kakak beradik tersebut merencanakan sebuah skenario penculikan yang berakhir dengan meninggalnya sang adik, sang adiklah yang mengisi hari-hari pria tersebut, dan sang kakak melarikan diri dengan membawa uang tebusan dan permata, hantu sang adik tersebutlah yang dapat dilihat oleh Tae Kong-Si, disini kalau saya lihat perananya Gong Hyojin begitu natural sepertinya seolah-olah nyata artinya penjiwaan sangat bagus, bisa dibandingakan salah satu drama yang sangat mengandung nilai-nilai kemanusiaan Thank you, disitu pertama kali saya sangat memuji perannya, balik lagi ke Master Sun, singkatnya saya sempat menyaksikan adegan berciuman di master sun tersebut, namun saya melihat adegan ciuman yang dilakukan tersebut merupakan bentuk totalitas artinya disitu tidak ada emosi hanya sebuah penjiwaan karakter yang baik, dan lalu ketika saya menonton filmnya it's okay, that love, yang menceritakan Gong Hyojin berperan sebagai dokter bidang kejiwaan bertemu dengan penulis novel yang mempunyai latar belakang yang kelam seperti mangalami kekerasan, dan karena membela diri dan unsur ketidak sengajaan menyebabkan ayah tirinya yang jahat terbunuh olehnya, dan kemudian sang kakaklah yang bertanggung jawab, inilah kemudian menimbulkan dendam mendalam sang kakak yang dipenjara selama 13 tahun, dari situlah sang penulis tersebut sering berhalusinasi melihat sosok anak kecil yang terobsesi untuk menulis novel yang juga merupakan salah satu episode dari gejala Skizofrenia (al yang ditandai oleh gangguan proses berpikir dan respon emosi yang lemah. Keadaan ini pada umumnya dimanifestasikan dalam bentuk halusinasi pendengaran, paranoid atau waham yang ganjil, atau cara berbicara dan berpikir yang kacau, dan disertai dengan disfungsi sosial dan pekerjaan yang signifikan.
Gejala awal biasanya muncul pada saat dewasa muda, dengan prevalensi semasa hidup secara global sekitar 0.3–0.7%), yang menjadi perhatian saya disini dan kaget adalah adegan ciuman yang sangat berbeda difilm-film yang dibintangi Gong Hyojin sebelumnya, saya coba mengamati beberapa episode tersebut terutama adegan ciuman saya merasa janggal, karena Gong Hyojin bukan melakukan dengan penjiwaan, sepertinya tendensi kearah cinta kasih yang berwujud eros yang menggambarkan bentuk sebuah manifestasi cinta kasih. Tepatnya adegan Ciuman Gong Hyojin sangat penuh dengan gairah dan nafsu yang merupakan bagian bentuk manifestasi dari eros, mmmm saya jadi bingung apa saya yang merasa bahwa saya memang sangat fans kepada dia sehingga menganggap salah hal tersebut atau mungkin bisa dikatakan saya cemburu atau bentuk halusinasi saya, yang sebelumnya saya pernah saya tulis distatus facebook saya beberapa hari yang lalu.
Benar, saya merasa janggal dengan adegan ciuman tersebut, karena di dalam adegan ciuman tersebut tidak ada soul atau penjiwaan, memang terlihat sekilas sangat natural akting Gong Hyonjin, dan kemudian kemarin dari petang hingga pukul 3.30 pagi saya mencoba berpikir salahkah saya mengenai penilaian tersebut apakah saya yang mengalami halusinasi, kemudian saya cari tahu browsing di google dan ternyata tepat dugaan saya adegan ciuman tersebut memanglah bentuk eros, dari beberapa situs yang saya lakukan riset kecil-kecilan ternyata Gong Hyojin saat proses pembuatan film mengalami cinta lokasi dengan pemeran utama pria, dan cinta lokasi tersebut berlangsung sekitar 4 bulan, ternyata benar adegan ciuman it's okay, that love tersebut adalah bentuk eros, jujur saya sangat sedikit kecewa dengan hal tersebut kalau dilihat dari Pasta, Thank You(film ini menayangkan nilai kemanusiaan dan cinta kasih yang sangat mendalam), khususnya The Master Sun, merupakan sebuah bentuk totalitas dalam berperan, dan it's okay, that love, sangatlah beda, saya sendiri kaget karena saya melihat sisi liar dari Gong Hyojin yang keluar begitu lepas dan bentuk adegan ciuman, dan memang terlihat menikmati tapi itu terlihat sekali bentuk manifestasi dari cinta kasih Eros
Ada baiknya saya menulis kembali status saya tentang perasaan janggal dari sebuah Halusinasi saya;
"Hari ini saya menonton salah satu, atau mungkin satu2nya artis korea yang saya tahu, ya Gong Hyojin, salah satu k-drama yg rilis akhir 2013, mmm sangat menikmati perannya yg natural, mungkin saya mengalami halusinasi artis tersebut mungkin peran dalam kehidupan nyata berbeda menjadi pribadi yg mungkin bisa tidak menyenangkan bagi saya tepatnya dapat mengecewakan, tapi biarlah saya tenggelam sementara dalam halusinasi tersebut"
 Maka dapatlah saya simpulkan sebagai fans Gong Hyojin bahwa Tidak ada satupun penilaian yang bersifat objektif semua penilaian akan selalu kembali dalam bentuk awalnya yaitu subjektifitas