“Setiap perbuatan pidana selalu
dirumuskan secara seksama dalam undang-undang, sehingga sifatnya
terbatas. Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum adalah tidak demikian.
Undang-undang hanya menetukan satu pasal umum, yang memberikan
akibat-akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum.”[1]
Perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disebut dengan onrechmatige daad dan dalam bahasa Inggeris disebut tort. Kata tort itu sendiri sebenarnya hanya berarti salah (wrong). Akan tetapi, khususnya dalam bidang hukum, kata tort
itu sendiri berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan
perdata yang bukan berasal dari wanprestasi dalam suatu perjanjian
kontrak. Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum disebut onrechmatige daad dalam sistem hukum Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental lainnya. Kata ” tort ” berasal dari kata latin ” torquere ” atau ” tortus ” dalam bahasa Perancis, seperti kata ” wrong ” berasal dari kata Perancis ” wrung ” yang berarti kesalahan atau kerugian (injury).
Sehingga pada prinsipnya, tujuan dibentuknya suatu sistem hukum yang
kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum ini adalah untuk dapat
mencapai seperti apa yang dikatakan dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt luxec, honestevivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya).
Onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum), pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Pasal 1401 KUHPerdata, yang menetapkan:
“Elke onrecthamatigedaad, waardoor
aan een ander schade wordt toegebragt, stelt dengene door wiens shuld
die schade veroorzaakt is in de verpligting om dezelve te vergoeden”.
Soebekti dan Tjitrosudibio menterjemahkannya sebagai berikut:
“Tiap perbuatan melawan hukum, yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Para pihak yang melakukan
perbuatan hukum itu disebut sebagai subjek hukum yaitu bias manusia
sebagai subjek hukum dan juga badan hukum sebagai subjek hukum.
Semula, banyak pihak meragukan,
apakah perbuatan melawan hukum memang merupakan suatu bidang hukum
tersendiri atau hanya merupakan keranjang sampah, yakni merupakan
kumpulan pengertian-pengertian hukum yang berserak-serakan dan tidak
masuk ke salah satu bidang hukum yang sudah ada, yang berkenaan dengan
kesalahan dalam bidang hukum perdata. Baru pada pertengahan abad ke 19
perbuatan melawan hukum, mulai diperhitungkan sebagai suatu bidang hukum
tersendiri, baik di negara-negara Eropa Kontinental, misalnya di
Belanda dengan istilah Onrechmatige Daad, ataupun di negara-negara Anglo Saxon, yang dikenal dengan istilah tort.[2]
Perbuatan Melawan Hukum diatur
dalam Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH Perdata. Pasal 1365 menyatakan,
bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada
orang lain menyebabkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian
mengganti kerugian tersebut. Perbuatan melawan hukum dalam KUH Perdata
berasal dari Code Napoleon.
Menurut Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka yang dimaksud dengan
perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang
dilakukan oleh seseorang, yang karena kesalahannya itu telah menimbulkan
kerugian bagi orang lain.
Pasal 1365 KUHPerdata berbunyi:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”[3]
Istilah “melanggar” menurut MA
Moegni Djojodirdjo hanya mencerminkan sifat aktifnya saja sedangkan
sefiat pasifnya diabaikan. Pada istilah “melawan” itu sudah termasuk
pengertian perbuatan yang bersifat aktif maupun pasif.[4]
Seseorang dengan sengaja melakukan
sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain, maka
nampaklah dengan jelas sifat aktif dari istilah melawan tersebut.
Sebaliknya kalau seseorang dengan sengaja tidak melakukan sesuatu atau
diam saja padahal mengetahui bahwa sesungguhnya harus melakukan sesuatu
perbuatan untuk tidak merugikan orang lain atau dengan lain perkataan
bersikap pasif saja, bahkan enggan melakukan kerugian pada orang lain,
maka telah “melawan” tanpa harus menggerakkan badannya. Inilah sifat
pasif daripada istilah melawan.[5]
Ketentuan dalam Pasal 1365 BW kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 1366 BW yaitu:
“Setiap orang bertanggung jawab tidak
hanya untuk kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya tetapi juga
disebabkan oleh kelalaiannya.”[6]
Kedua pasal tersebut di atas
menegaskan bahwa perbuatan melawan hukum tidak saja mencakup suatu
perbuatan, tetapi juga mencakup tidak berbuat. Pasal 1365 BW mengatur
tentang “perbuatan” dan Pasal 1366 BW mengatur tentang “tidak berbuat”.
Dilihat dari sejarahnya maka
pandangan-pandangan mengenai perbuatan melawan hukum selalu mengalami
perubahan dan perkembangan. Menurut Rachmat Setiawan dalam bukunya
“Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum”, perbuatan melawan hukum
dapat dibedakan menjadi 2 interpretasi, yaitu interpretasi sempit atau
lebih dikenal dengan ajaran legisme dan interpretasi luas.
Menurut ajaran Legisme (abad 19),
suatu perbuatan melawan hukum diartikan sebagai beruat atau tidak
berbuat yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat atau
melanggar hak orang lain. Sehingga menurut ajaran Legistis suatu
perbuatan melawan hukum harus memenuhi salah satu unsure yaitu:
melanggar hak orang lain bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat
yang telah diatur dalam undang-undang.
Ajaran Legistis lebih menitik
beratkan bahwa tidak semua perbuatan yang menimbulkan kerugian dapat
dituntut ganti rugi melainkan hanya terhadap perbuatan melawan hukum
saja yang dapat memberikan dasar untuk menuntut ganti rugi. Pandangan
tersebut kemudian lebih dikenal sebagai pandangan sempit.
Ajaran Legistis tersebut mendapat
tantangan dari beberapa sarjana diantarnya adalah Molengraaf yang mana
menurut pandangan beliau, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum
tidak hanya terpaku pada melanggar undang-undang semata, tetapi juga
jika perbuatan tersebut melanggar kaedah-kaedah kesusilaan dan
kepatutan.
Pada tahun 1919, Hoge Raad
merumuskan pandangan luas mengenai perbuatan melawan hukum. Pada
rumusannya, Hoge Raad mempergunakan rumusan yang terdapat dalam
rancangan Heemskerk yang mana yang dimaksud perbuatan melawan hukum
tidak sama dengan melawan undang-undang tetapi perbuatan melawan hukum
harus diartikan sebagai “berbuat” atau “tidak berbuat” yang memperkosa
hak oranglain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat atau
bertentangan dengan asas kesusilaan dan kepatuhan dalam masyarakat, baik
terhadap diri atau benda orang lain.
Rumusan tersebut dituangkan dalam “Standart Arrest” 31 Januari 119 dalam perkara Cohen dan Lindenbaum:
“…. Penafsiran tersebut tidak beralasan
karena melawan hukum tidak sama dengan melawan undang-undang. Menurut
Hoge Raad perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai “berbuat” atai
“tidak berbuat” yang memperkosa hak orang lain atau bertentangan dengan
kewajiban hukum si pembuat atau kesusilaan atau kepatuhan dalam
masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain.”[7]
Sejak tahun 1919, Hoge Raad mulai
menafsirkan Perbuatan Melawan Hukum dalam arti luas pada perkara
Lindenbaum v. Cohen dengan mengatakan Perbuatan Melawan Hukum harus
diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan[8] :
- Hak Subyektif orang lain.
- Kewajiban hukum pelaku.
- Kaedah kesusilaan.
- Kepatutan dalam masyarakat
Pertanggungjawaban yang harus
dilakukan berdasarkan perbuatan melawan hukum ini merupakan suatu
perikatan yang disebabkan dari undang-undang yang mengaturnya (perikatan
yang timbul karena undang-undang).
Pada ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:
- Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan
- Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian).
- Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Bila dilihat dari model pengaturan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perbuatan melawan hukum
lainnya, dan seperti juga di negaranegara dalam sistem hukum Eropa
Kontinental, maka model tanggung jawab hukum di Indonesia adalah sebagai
berikut:
- Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), seperti terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
- Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian seperti terdapat dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
- Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas seperti dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
Beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut:
- Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi contractual yang menerbitkan hak untuk meminta ganti rugi.
- Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum yang mana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bias juga merupakan suatu kecelakaan.
- Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi.
- Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak atau wanprestasi terhadap kewajiban trust ataupun wanprestasi terhadap kewajiban equity lainnya.
- Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak atau lebih tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual
- Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum dan karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan.
- Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak seperti juga kimia buka suatu fisika atau matematika.[9]
SYARAT-SYARAT DAN UNSUR PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Sesuai dengan
ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, suatu
perbuatan melawan hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
- Ada Suatu Perbuatan
Perbuatan yang dimaksud
adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku. Secara umum
perbuatan ini mencakup berbuat sesuatu (dalam arti aktif) dan tidak
berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu,
padahal pelaku mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat, kewajiban itu
timbul dari hukum. (ada pula kewajiban yang timbul dari suatu kontrak).
Dalam perbuatan melawan hukum ini , harus tidak ada unsur persetujuan
atau kata sepakat serta tidak ada pula unsur kausa yang diperberbolehkan
seperti yang terdapat dalarn suatu perjanjian kontrak.
2. Perbuatan Itu Melawan Hukum
Perbuatan yang
dilakukan itu, harus melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan
hukum diartikan dalam arti seluas-luasnya. Menurut Standaard Arest Tahun
1919, berbuat atau tidak berbuat merupakan suatu perbuatan melawan
hukum jika:
a. Perbuatan melanggar undang-undang
b. Perbuatan melanggar hak orang lain yang dilindungi hukum
Perbuatan yang
bertentangan dengan hak orang lain termasuk salah satu perbuatan yang
dilarang oleh Pasal 1365 KUHPerdata. Hak yang dilanggar tersebut adalah
hak-hak seseorang yang diakui oleh hukum, termasuk tetapi tidak terbatas
pada hak-hak sebagai berikut:
- Hak-hak Pribadi
- Hak-hak Kekayaan
- Hak-hak Kebebasan
- Hak atas Kehormatan dan Nama Baik
Yang dimaksud
dengan melanggar hak orang lain adalah melanggar hak subjektif orang
lain, yaitu wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang
untuk digunakan bagi kepentingannya. Menurut Meyers dalam bukunya “Algemene Begrippen” mengemukakan:
“Hak subjektif menunjuk
kepada suatu hak yang diberikan oleh hukum kepada seseorang secara
khusus untuk melindungi kepentingannya.”
c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
Perbuatan ini
juga termasuk ke dalam kategori perbuatan melawan hukum jika perbuatan
tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelakunya. Istilah
“kewajiban hukum ini yang dimaksudkan adalah bahwa suatu kewajiban yang
diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik hukum tertulis maupun
hukum tidak tertulis. Jadi, bukan hanya bertentangan dengan hukum
tertulis melainkan juga bertentangan dengan hak orang lain menurut
undang-undang karena itu pula istilah yang dipakai untuk perbuatan
melawan hukum adalah onrechtmatige daad, bukan onwetmatige daad.
d. Perbuatan yang bertentangan kesusilaan (geode zeden ).
Dapat
dinyatakan sebagai norma-norma moral yang dalam pergaulan masyarakat
telah diterima sebagai norma-norma hukum. Tindakan yang melanggar
kesusilaan yang oleh masyarakat telah diakui sebagai hukum tidak
tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, manakala dengan
tindakan melanggar kesusilaan tersebut telah terjadi kerugian bagi pihak
lain, maka berdasarkan atas perbuatan melawan hukum. Dalam putusan
terkenal Lindebaum v. Cohen (1919), Hoge Raad menganggap
tindakan Cohen untuk membocorkan rahasia perusahaan dianggap sebagai
tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan, sehingga dapat digolongkan
sebagai suatu perbuatan melawan hukum.
e. Perbuatan yang
bertentangan sikap baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan
orang lain (bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam
lalu-lintas masyarakat terhadap diri atau barang oranglain.
Perbuatan yang
bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan
masyarakat yang baik ini juga dianggap sebagai suatu perbuatan melawan
hukum. Jadi, jika seseorang melakukan tindakan yang merugikan orang
lain, tidak secara melanggar pasal-pasal dari hukum tertulis, mungkin
masih dapat dijerat dengan perbuatan melawan hukum, karena tindakannya
tersebut bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam
pergaulan masyarakat. Keharusan dalam masyarakat tersebut tentunya tidak
tertulis, tetapi diakui oleh masyarakat yang bersangkutan.
Pada garis besarnya dapat dinyatakan bahwa suatu perbuatan adalah bertentangan dengan kepatutan, jika:
- Perbuatan tersebut dangat merugikan orang lain
- Perbuatan yang tidak berfaedah yang menimbulkan bahaya terhadap orang lain, yang menurut menusia yang normal hal tersebut harus diperhatikan.
Jika dilihat
kembali dalam Pasal 1365 KUHPerdata terdapat dua faktor penting dari
perbuatan melawan hukum, yaitu adanya factor kesalahan dan kerugian.
Kesalahan adalah perbuatan dan akibat-akibat yang dapat dipertanggung
jawabkan kepada diri si pelaku. Menurut Asser’s ia tetap pada pendirian
untuk memberikan pengertian atas istilah kesalahan sebagai perbuatan dan
akibat-akibat yang dapat dipertanggung jawabkan si pelaku.[10]
“Dalam hukum pidana
telah diterima asas tidak dipidana tanpa kesalahan. Sedang dalam hukum
perdata asas tersebut dapat diuraikan: tidak ada pertanggung jawaban
untuk akibat-akibat dari perbuatan hukum tanpa kesalahan.”[11]
Kesalahan
dipakai untuk menyatakan bahwa seseorang dinyatakan bertanggung jawab
untuk akibat yang merugikan yang terjadi dari perbuatannya yang salah.
Si Pelaku adalah bertanggung jawab untuk kerugian tersebut apabila
perbuatan melawan hukum yang dilakukan dan kerugian yang ditimbulkannya
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
Syarat kesalahan
ini dapat diukur secara objektif dan subjektif. Secara objektif yaitu
harus dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal
dapat menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini akan
mencegah manusia yang baik untuk berbuat atau tidak berbuat.[12] Secara subjekif, harus diteliti apakah si pembuat berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga akibat dari perbuatannya.[13]
Pasal 1365
KUHPerdata kesalahan dinyatakan sebagai pengertian umum, dapat mencakup
kesengajaan maupun kelalaian. Menurut H.F Vollmar, bahwa untuk adanya
kesalahan ada pertanyaan sebagai berikut:[14]
- Kesalahan dalam arti subjektif atau abstrak, yaitu apakah orang yang bersangkutan umumnya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu?
- Kesalahan dalam arti objektif atau konkrit, yaitu apakah ada keadaan memaksa (overmacht) atau keadaan darurat (noodoestand). Dalam hal ini orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya namun karena ada keadaan memaksa maka tidak ada kesalahan.
Undang-Undang dan Yurisprudensi
mensyaratkan untuk dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum sesuai
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka pada pelaku
harus mengandung unsur kesalahan (schuldelement) dan melakukan perbuatan tersebut. Karena itu, tanggungjawab tanpa kesalahan (strict liability)
tidak termasuk tanggung jawab dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia. Bilamana dalam hal-hal tertentu berlaku
tanggungjawab tanpa kesalahan (strict ZiabiZity), hal demikian
bukan berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia. Karena Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia mensyaratkan untuk dikategorikan perbuatan melawan hukum harus
ada kesalahan, maka perlu mengetahui bagaimana cakupan unsur kesalahan
itu.
Suatu tindakan dianggap
mengandung unsur kesalahan, sehingga dapat diminta pertanggungjawaban
hukum, jika memenuhi unsur- unsur sebagai berikut:
- Ada unsur kesengajaan
- Ada unsur kelalaian (negligence, culpa)
- Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras dan lain-lain.
Perlu atau tidak, perbuatan
melawan hukum mesti ada unsur kesalahan, selain unsur melawan hukum , di
sini terdapat 3 (tiga) aliran teori sebagai berikut:
a. Aliran yang menyatakan cukup hanya ada unsur melawan hukum.
Aliran ini
menyatakan, dengan unsur melawan hukum dalam arti luas, sudah mencakup
unsur kesalahan di dalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi ada unsur
kesalahan dalam perbuatan melawan hukum. Di negeri Belanda, aliran ini
dianut oleh Van Oven.
b. Aliran yang menyatakan cukup hanya ada unsur kesalahan
Aliran ini
sebaliknya menyatakan, dalam unsur kesalahan, sudah mencakup juga unsur
perbuatan melawan hukum. Di negeri Belanda, aliran ini dianut oleh Van
Goudever.
c. Aliran yang menyatakan, diperlukan unsur melawan hukum dan unsur kesalahan.
Aliran ini
mengajarkan, suatu perbuatan melawan hukum mesti ada unsur perbuatan
melawan hukum dan unsur kesalahan, karena unsur melawan hukum saja belum
tentu mencakup unsur kesalahan. Di negeri Belanda, aliran ini dianut
oleh Meyers. Kesalahan yang diharuskan dalam perbuatan melawan hukum
adalah kesalahan dalam arti ” kesalahan hukum ” dan ” kesalahan sosial
“. Dalam hal ini, hukum menafsirkan kesalahan itu sebagai suatu
kegagalan seseorang untuk hidup dengan sikap yang ideal, yaitu sikap
yang biasa dan normal dalam pergaulan masyarakat. Sikap demikian,
kemudian mengkristal yang disebut manusia yang normal dan wajar (reasonable man).
4. Ada Kerugian Korban
Ada kerugian (schade)
bagi korban merupakan unsur perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Dalam pengertian bahwa
kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa :
a. Kerugian materiil.
Kerugian materiil dapat
terdiri dari kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang
seharunya diperoleh. Jadi pada umumnya diterima bahwa si pembuat
perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian tidak hanya untuk
kerugian yang nyata-nyata diderita, juga keuntungan yang seharusnya
diperoleh.
b. Kerugian immaterial/idiil.
Perbuatan melawan hukum
pun dapat menimbulkan kerugian yang bersifat immaterial/idiil seperti
ketakutan, sakit dan kehilangan kesenangan hidup.
Pengganti
kerugian karena perbuatan melawan hukum tidak diatur oleh undang-undang.
Oleh karena itu aturan yang dipakai untuk ganti rugi ini adalah dengan
cara analogis. Mengenai hal ini mempergunakan peraturan ganti rugi
akibat ingkar janji yang diatur dalam Pasal 1243-1252 KUHPerdata di
samping itu, pemulihan kembali ke keadaan semula.
Untuk menentukan
luasnya kerugian yang harus diganti umumnya harus dilakukan dengan
menilai kerugian tersebut, untuk itu pada asasnya yang dirugikan harus
sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan jika terjadi
perbuatan melawan hukum. Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi
tidak hanya kerugian yang telah ia derita pada waktu diajukan tuntutan
akan tetapi juga apa yang ia akan derita pada waktu yang akan datang.
Dalam gugatan
atau tuntutan berdasarkan alasan hukum wanprestasi berbeda dengan
gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum. Gugatan berdasarkan
wanprestasi hanya mengenal kerugian materil, sedangkan dalam gugatan
perbuatan melawan hukum selain mengandung kerugian materil juga
mengandung kerugian imateril, yang dinilai dengan uang.
Gugatan pengganti kerugian karena perbuatan melawan hukum:
- dapat berupa uang (dapat dengan uang pemaksa)
- memulihkan dalam keadaan semula (dapat dengan uang pemaksa)
- larangan untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi (dapat dengan uang pemaksa)
- dapat meminta putusan hakim bahwa perbuatannya adalah bersifat melawan hukum.
- Ada Hubungan Kausal antara Perbuatan dan Kerugian.
Hubungan kausal
antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi, merupakan
syarat dari suatu perbuatan melawan hukum. Untuk hubungan sebab akibat
ada 2 macam teori, yaitu:
a. Teori Hubungan Faktual
Teori Condition Sine Qua Non dari Von Buri, seorang ahli hukum Eropa Kontinental yang merupakan pendukung teori faktual ini. menyatakan:[15]
“suatu hal adalah sebab dari akibat, sedangkan suatu akibat tidak akan terjadi bila sebab itu tidak ada.”
Menurut teori ini orang yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu bertanggungjawab, jika perbuatan Condition Sine Qua Non menimbulkan kerugian.
Hubungan sebab
akibat secara faktual (caution in fact) hanyalah merupakan masalah fakta
atau yang secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang
menimbulkan kerugian adalah penyebab faktual. Dalam perbuatan melawan
hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut hukum mengenai ” but for ” atau ” sine qua non ” .
b. Teori Adequate Veroorzaking.
Teori Adequate Veroorzaking dari Van Kries, menyatakan:[16]
“Suatu hal adalah sebab
dari suatu akibat bila menurut pengalaman masyarakat dapat diduga,
bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat itu.”
Menurut teori
ini orang yang melakukan perbuatan melawan hukum hanya bertanggungawab
untuk kerugian, yang selayaknya diharapkan sebagai akibat dari perbuatan
melawan hukum.
Menurut Vollmar:
“Terdapat hubungan
kausal, jika kerugian menurut aturan pengalaman secara layak merupakan
akibat yang dapat diharapkan akan timbul dari perbuatan melawan hukum”
Perbuatan
melawan hukum juga terdapat dalam sengketa tanah, dalam hal ini jika ada
pihak yang melanggar hak orang lain misalnya saja menempati tanah tanpa
ijin pemiliknya apalagi sampai membangun rumah dan menyewakan rumah
tersebut pada orang lain, maka pihak yang merasa dirugikan berhak
mengajukan gugatan di pengadilan untuk objek sengketa tersebut.
c. Teori Sebab Kira-kira (proximately cause ).
Teori ini, adalah
bagian yang paling membingungkan dan paling banyak pertentangan mengenai
perbuatan melawan hukum ini. Kadang-kadang teori ini disebut juga teori
legal cause, penulis berpendapat , semakin banyak orang
mengtahui hukum, maka perbuatan melawan hukum akan Semakin berkurang.
Mencegah melakukan perbuatan melawan hukum, jauh lebih baik daripada
menerima sanksi hukum.
PERTANGGUNGJAWABAN DALAM PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Hukum mengakui
hak-hak tertentu, baik mengenai hak-hak pribadi maupun mengenai hak-hak
kebendaan dan hukum akan melindungi dengan sanksi tegas baik bagi pihak
yang melanggar hak tersebut, yaitu engan tanggungjawab membayar ganti
rugi kepada pihak yang dilanggar haknya. Dengan demikian setiap
perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain menimbulkan
pertanggungjwaban.
Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan :
“ Tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Sedangkan ketentuan pasal 1366 KUHPerdata menyatakan :
“ Setiap orang bertanggung-jawab tidak
saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga
untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau kurang
hati-hatinya”.
Ketentuan pasal 1365 KUH Perdata
tersebut di atas mengatur pertanggung-jawaban yang diakibatkan oleh
adanya perbuatan melawan hukum baik karena berbuat (positip=culpa in commitendo) atau karena tidak berbuat (pasif=culpa in ommitendo).
Sedangkan pasal 1366 KUH Perdata lebih mengarah pada tuntutan
pertanggung-jawaban yang diakibatkan oleh kesalahan karena kelalaian (onrechtmatigenalaten).
Selain itu orang yang melakukan
perbuatan melawan hukum harus dapat dipertanggungjawaban atas
perbuatannya, karena orang yang tidak tahu apa yang ia lakukan tidak
wajib membayar ganti rugi. Sehubungan dengan kesalahan in terdapat dua
kemungkinan :
- Orang yang dirugikan juga mempunyai kesalahan terhadap timbulnya kerugian. Dalam pengertian bahwa jika orang yang dirugikan juga bersalah atas timbulnya kerugian, maka sebagian dari kerugian tersebut dibebankan kepadanya kecuali jika perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan sengaja.
- Kerugian ditimbulkan oleh beberapa pembuat. Jika kerugian itu ditimbulkan karena perbuatan beberapa orang maka terhadap masing-masing orang yang bertanggung jawab atas terjadinya perbuatan tersebut dapat dituntut untuk keseluruhannya
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
membagi masalah pertanggungjawaban terhadap peruatan melawan hukum
menjadi 2 golongan, yaitu:
- Tanggung jawab langsung
Hal ini diatur
dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Dengan adanya interprestasi yang luas sejak
tahun 1919 (Arest Lindenbaun vs Cohen) dari Pasal 1365 KUHPerdata ini,
maka banyak hal-hal yang dulunya tidak dapat dituntut atau dikenakan
sanksi atau hukuman, kini terhadap pelaku dapat dimintakan pertanggung
jawaban untuk membayar ganti rugi.
2. Tanggung jawab tidak langsung
Menurut Pasal
1367 KUHPerdata, seorang subjek hukum tidak hanya bertanggung jawab atas
perbuatan melawan hukum yang dilakukannya saja, tetapi juga untuk
perbuatan yang dilakukan oleh orang lain yang menjadi tanggungan dan
barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
Tanggung jawab
atas akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan melawan hukum dalam hukum
perdata, pertanggung jawabannya selain terletak pada pelakunya endiri
juga dapat dialihkan pada pihak lain atu kepada negara, tergantung siapa
yang melakukannya.
Adanya kemungkinan pengalihan tanggung jawab tersebut disebabkan oleh dua hal:[17]
- Perihal pengawasan
Adakalanya
seorang dalam pergaulan hidup bermasyarakat menurut hukum berada di
bawah tanggung jawab dan pengawasan orang lain. Adapun orang-orang yang
bertanggung jawab untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain menurut
Pasal 1367 KUHPerdata adalah sebagai berikut:
- Orang tua atau wali, bertanggung jawab atas pengawasan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa
- Seorang curator, dalam hal curatele, bertanggung jawab atas pengawasan terhadap curandus
- Guru, bertanggung jawab atas pengawasan murid sekolah yang berada dalam lingkungan pengajarannya.
- Majikan, bertanggung jawab atas pengawasan terhadap buruhnya
- Penyuruh (lasgever), bertanggung jawab atas pengawasan terhadap pesuruhnya.
Terkait dengan
hal ini pengawasan dapat dianggap mempunyai untuk menjaga agar jangan
sampai seorang yang diwasi itu melakukan perbuatan melawan hukum.
Pengawas itu harus turut berusaha menghindarkan kegoncangan dalam
msyarakat, yang mungkin akan disebabkan oleh tingkat laku orang yang
diawasinya.
2. Pemberian kuasa dengan risiko ekonomi
Sering terjadi
suatu pertinbangan tentang dirasakannya adil dan patut untuk
mempertanggungjawabkan seseorang atas perbuatan orang lain, terletak
pada soal perekonomian, yaitu jika pada kenyataannya orang yang
melakukan perbuatan melawan hukum itu ekonominya tidak begitu kuat. Hal
ini berdasarkan pertimbangan bahwa percuma saja jika orang tersebut
dipertanggungjawabkan, karena kekayaan harta bendanya tidak cukup untuk
menutupi kerugian yang disebabkan olehnya dan yang diderita oleh orang
lain. Sehingga dalam hal ini yang mempertanggungjawabkan perbuatannya
adalah orang lain yang dianggap lebih mampu untuk bertanggung jawab.
KONSEKUENSI YURIDIS DALAM HAL TIMBULNYA PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Akibat perbuatan melawan hukum diatur pada Pasal 1365 KUH Perdata sampai dengan 1367 KUHPerdata sebagai berikut:
- Menurut Pasal 1365 KUHPerdata dikutip bunyinya:
“Tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian”.
2. Pasal 1366 KUHPerdata, menyebutkan:
“Setiap orang
bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang diesbabkan karena
kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
3. Pasal 1367 KUHPerdata, menyebutkan:
“Seorang tidak saja
bertanggung-jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya
sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan
orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh orang-orang
yang berada di bawah pengawasannya … dst”.
Berdasarkan kutipan pasal tersebut
di atas, secara umum memberikan gambaran mengenai batasan ruang lingkup
akibat dari suatu perbuatan melawan hukum. Akibat perbuatan melawan
hukum secara yuridis mempunyai konsekuensi terhadap pelaku maupun
orang-orang yang mempunyai hubungan hukum dalam bentuk pekerjaan yang
menyebabkan timbulnya perbuatan melawan hukum. Jadi, akibat yang timbul
dari suatu perbuatan melawan hukum akan diwujudkan dalam bentuk ganti
kerugian terehadap korban yang mengalami.
Penggantian kerugian sebagai
akibat dari adanya perbuatan melawan hukum, sebagaimana telah disinggung
diatas, dapat berupa penggantian kerugian materiil dan immateriil.
Lazimnya, dalam praktik penggantian kerugian dihitung dengan uang , atau
disetarakan dengan uang disamping adanya tuntutan penggantian benda
atau barang-barang yang dianggap telah mengalami kerusakan/perampasan
sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum pelaku.
Jika mencermati perumusan
ketentuan pasla 1365 KUHPerdata, secara limitatif menganut asas hukum
bahwa penggantian kerugian dalam hal terjadinya suatu perbuatan melawan
hukum bersifat wajib. Bahkan, dalam berbagai kasus yang mengemuka di
pengadilan, hakim seringkali secara ex-officio menetapkan penggantian
kerugian meskipun pihak korban tidak menuntut kerugian yang dimaksudkan.
Secara teoritis penggantian
kerugian sebagai akibat dari suatu perbuatan melawan hukum
diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu : kerugian yang bersifat
actual (actual loss) dan kerugian yang akan datang. Dikatakan kerugian yang bersifat actual adalah
kerugian yang mudah dilihat secara nyata atau fisik, baik yang bersifat
materiil dan immateriil. Kerugian ini didasarkan pada hal-hal kongkrit
yang timbul sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum dari pelaku.
Sedangkan kerugian yang bersifat dimasa mendatang adalah
kerugian-kerugian yang dapat diperkirakan akan timbul dimasa mendatang
akibat adanya perbuatan melawan hukum dari pihak pelaku. Kerugian ini
seperti pengajuan tuntutan pemulihan nama baik melalui pengumuman di
media cetak dan atau elektronik terhadap pelaku. Ganti kerugian dimasa
mendatang ini haruslah didasarkan pula pada kerugian yang sejatinya
dapat dibayangkan dimasa mendatang dan akan terjadi secara nyata.
Masyarakat berhak untuk mengajukan
tuntutan-tuntutan apabila mereka mengalami kerugian akibat perbuatan
melawan hukum. Untuk mengembalikan pada keadaan semula yang berimbang,
maka terhadap pelaku dikenakan suatu hukuman dari yang ringan sampai
yang berat yang dituntut oleh korban.
Pada hukum perikatan, khususnya
hukum perjanjian, ganti rugi umumnya terdiri dari 3 hal yaitu biaya,
rugi, dan bunga. Pada setiap kasus tidak selamanya ketiga unsure
tersebut selalu ada, tetapi ada kalanya hanya terdiri dari 2 unsur saja.
Dalam hukum Perbuatan Melawan Hukum, Wirjono Prodjodikoro menyatakan, jika dilihat bunyi Pasal 57 ayat (7) Reglement burgerlijk Rechrvordering (Hukum Acara Perdata berlaku pada waktu dulu bagi Raad van Justitie) yang juga memakai istilah Kosten schaden en interesen untuk menyebut kerugian sebagai perbuatan melanggar hukum, sehingga dapat dianggap sebagai pembuat Burgerlijk Wetboek sebetulnya
tidak membedakan antara kerugian yang disebabkan perbuatan melanggar
hukum dengan kerugian yang disebabkan tidak dilaksanakannya suatu
perjanjian.[18] Sehingga dalam kaitannya dengan perbuatan melawan hukum, ketentuan yang sama dapat dijadikan sebagai pedoman.
Pasal 1365 KUHPerdata memberikan beberapa jenis penuntutan, yaitu:
- ganti rugi atas kerugian dalam bentuk uang
- ganti rugi atas kerugian dalam bentuk natura atau pengembalian pada keadaan semula
- pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah bersifat melawan hukum
- larangan untuk melakukan suatu perbuatan
- meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum
- pengumuman daripada keputusan atau dari sesuatu yang telah diperbaiki.
Ketentuan mengenai ganti rugi
dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata sampai dengan Pasal
1252 KUHPerdata. Dari ketentuan pasal-pasal tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan ganti rugi adalah sanksi yang
dapat dibebankan kepada debitor yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu
prestasi dalam suatu perikatan untuk memberikan penggantian biaya, rugi
dan bunga.[19]
Ganti rugi menurut Pasal 1246 KUHPerdata memperincikan ke dalam 3 kategori yaitu:
- biaya, artinya setiap cost yang harus dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang dirugikan, dalam hal ini adalah sebagai akibat dari adanya tindakan wanprestasi.
- Kerugian, artinya keadaan merosotnya (berkurangnya) nilai kekayaan Kreditor sebagai akibat dari adanya tindakan wanprestasi dari pihak Debitor.
- Bunga, adalah keuntungan yang seharusnys diperoleh tetapi tidak jadi diperoleh oleh pihak Kreditor, dikarenakan adanya tindakan wanprestasi dari pihak Kreditor.[20]
Terkait dengan hal ini,
pasal-pasal ganti rugi karena wanprestasi tidak dapat begitu saja
diberlakukan terhadap perbuatan yang dikualifikasikan sebagai perbuatan
melawan hukum. Hal ini disebabkan karena ada penilaian terhadap ukuran
penggantian itu sukar untuk ditetapkan.
Ketentuan yang mengatur tentang
ganti rugi karena wanprestasi dapat diperlakukan sebagian secara
analogis, terhadap ganti rugi karena perbuatan melanggar hukum. Misalnya
apabila seorang pelaku melanggar hukum menolak membayar seluruh jumlah
ganti rugi yang telah ditetapkan oleh hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Pelaku bergutang bunga sejak diputus oleh
pengadilan.
Di samping itu ada ketentuan ganti
rugi karena wanprestasi yang tidak dapat diberlakukan terhadap ganti
rugi karena perbuatan melawan hukum, yakni Pasal 1247 sampai Pasal 1250
KUHPerdata, oleh karena:
- Pasal 1247 KUHPerdata mengenai perbuatan perikatan berarti perikatan tersebut dilahirkan dari persetujuan, sedangkan perbuatan melawan hukum bukan merupakan perikatan yang lahir karena persetujuan.
- Pasal 1250 KUHPerdata membebakan pembayaran bunga tasa penggantian biaya, rugi, dan bunga dalam hal terjadinya keterlambatan pembayaran sejumlah uang sedangkan yang dialami dalam perbuatan melawan hukum tidak mungkin disebabkan karena tidak dilakukannya pembayaran sejumlah uang yang tidak tepat pada waktunya.
Jadi dalam hal ganti rugi karena
perbuatan melawan hukum, Penggugat berdasarkan gugatannya pada Pasal
1365 KUHPerdata tidak dapat mengharapkan besarnya kerugian. Kerugian ini
ditentukan oleh hakim dengan mengacu pada putusan terdahulu
(Yurisprudensi).
Kerugian yang timbul karena adanya
perbuatan melawan hukum menyebabkan adanya pembebanan kewajiban kepada
pelaku untuk memberikan ganti rugi kepada penderita adalah sedapat
mungkin mengembalikan ke keadaan semula yakni sebelum terjadinya
perbuatan melawan hukum, maka menurut undang-undang dan yurisprudensi
dikenal berbagai macam penggantian kerugian yang dapat dituntut
berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata oleh penderita, sebagai upaya untuk
mengganti kerugian maupun pemulihan kehormatan.
Macam kerugian tersebut yaitu:
- ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang ditimbulkan
- ganti kerugian dalam bentuk natura atau dikembalikan dalam keadan semula
- pernyataan, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum
- dilarang dilakukannya suatu perbuatan
- pengumuman dalam putusan hakim.
PERKEMBANGAN TEORI PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Perbuatan
Melawan Hukum di Indonesia secara normatif selalu merujuk pada
ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata rumusan norma dalam pasal ini
unik, tidak seperti ketentuan-ketentuan pasal lainnya. Perumusan
norma Pasal 1365 KUH Perdata lebih merupakan struktur norma
daripada substansi ketentuan hukum yang sudah lengkap. Oleh
karenanya substansi ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata senantiasa
memerlukan materialisasi di luar KUH Perdata. Oleh karena itu
perbuatan melawan hukum berkembang melalui putusan-putusan
pengadilan dan melalui undang-undang. Perbuatan Melawan Hukum
dalam KUH Perdata diatur dalam buku III tentang Perikatan.
Perbuatan melawan hukum Indonesia yang berasal dari Eropa
Kontinental diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdt. sampai dengan Pasal 1380
KUHPerdt. Pasal-pasal tersebut mengatur bentuk tanggung jawab atas
perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365
KUHPerdt. pada awalnya memang mengandung pengertian yang sempit
sebagai pengaruh dari ajaran legisme. Hal ini sebenarnya
bertentangan dengan doktrin yang dikemukakan oleh para sarjana pada
waktu itu, antara lain Molengraaff yang menyatakan bahwa Perbuatan
Melawan Hukum tidak hanya melanggar undang-undang, tetapi juga melanggar
kaedah kesusilaan dan kepatutan.[21]
Pengertian yang dianut adalah
bahwa perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang bertentangan
dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Dengan kata
lain bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sama dengan melawan undang-undang (onwetmatige daad).
Aliran ini ditandai dengan Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam
perkara Singer Naaimachine. Perkara bermula dari seorang pedagang
menjual mesin jahit merek “Singer” yang telah disempurnakan.
Padahal mesin itu sama sekali bukan produk Singer. Kata-kata “Singer”
ditulis dengan huruf-huruf yang besar, sedang kata-kata yang lain
ditulis kecil-kecil sehingga sepintas yang terbaca adalah “Singer”
saja. Ketika pedagang itu digugat di muka pengadilan, H.R. antara
lain mengatakan bahwa perbuatan pedagang itu bukanlah merupakan
tindakan melawan hukum karena tidak setiap tindakan dalam dunia
usaha, yang bertentangan dengan tata krama dalam masyarakat dianggap
sebagai tindakan melawan hukum.
Pada putusan berikutnya, Hoge Raad berpendapat sama dalam kasus Zutphense Juffrouw. Perkara yang diputuskan tanggal 10 Juni 1910 itu bermula dari sebuah gudang di Zutphen.
Iklim yang sangat dingin menyebabkan pipa air dalam gudang
tersebut pecah, sementara kran induknya berada dalam rumah di
tingkat atas. Namun
penghuni di tingkat atas tersebut
tidak bersedia memenuhi permintaan untuk menutup kran induk
tersebut;sekalipun kepadanya telah dijelaskan, bahwa dengan tidak
ditutupnya kran induk, akan timbul kerusakan besar pada barang yang
tersimpan dalam gudang akibat tergenang air. Perusahaan asuransi telah
membayar ganti kerugian atas rusaknya barang-barang tersebut dan
selanjutnya menggugat penghuni tingkat atas di muka pengadilan.
Hoge Raad memenangkan tergugat dengan alasan, bahwa tidak
terdapat suatu ketentuan undang-undang yang mewajibkan penghuni
tingkat atas
tersebut untuk mematikan kran induk guna
kepentingan pihak ketiga. Dengan kata lain Hoge Raad di Belanda
memandang perbuatan melawan hukum secara legistis.
Pemandangan legistis itu
kemudian berubah pada tahun 1919 dengan putusan Hoge Raad 31
Januari 1919 dalam perkara Cohen v. Lindenbaum yang dikenal sebagai
drukkers arrest. Pada perkara ini Hoge Raad mulai menafsirkan
perbuatan melawan Pendirian ini terlihat dalam pendapat Hoge Raad
pada Arrestnya tanggal 18 Februari 1853 mempertimbangkan antara
lain sebagai berikut: “Menimbang, bahwa dari hubungan satu
dengan lainnya dan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1365 dan 1366
KUHPerdata masing-masing kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa
sesuatu perbuatan dapat berupa perbuatan yang rechtmatig dan
dibolehkan, dan si pencipta sekalipun demikian karenanya harus
bertanggung jawab, bilamana ia dalam hal itu telah berbuat tidak
berhati-hati”.[22]
Dalam perkara ini, Cohen seorang pengusaha percetakan telah
membujuk karyawan percetakan Lindenbaum untuk memberikan copy-copy
pesanan dari langganan-langganannya. Cohen memanfaatkan informasi
ini sehingga Lindenbaum mengalami kerugian karena para langganannya
lari ke perusahaan Cohen. Selanjutnya Lindenbaum menggugat Cohen
untuk membayar ganti kerugian kepadanya. Gugatan tersebut
dikabulkan oleh Pengadilan Negeri (rechtbank). Pengadilan
Tinggi (Hof) sebaliknya membatalkan keputusan Pengadilan Negeri dengan
pertimbangan bahwa sekalipun karyawan tersebut melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, yakni telah
melanggar suatu kewajiban hukum, namun tidak berlaku bagi Cohen
karena undang-undang tidak melarang dengan tegas bahwa mencuri
informasi adalah melanggar hukum. Hoge Raad membatalkan keputusan
Hof atas dasar pertimbangan, bahwa dalam keputusan Pengadilan
Tinggi makna tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
dipandang secara sempit sehingga yang termasuk di dalamnya hanyalah
perbuatan-perbuatan yang secara langsung dilarang oleh
undang-undang. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang tidak dilarang
oleh undang-undang sekalipun perbuatan-perbuatan ini bertentangan
dengan keharusan dan kepatutan, yang diwajibkan dalam pergaulan
masyarakat bukan merupakan perbuatan melawan hukum. Dengan adanya
arrest ini maka pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas.
Perbuatan melawan hukum kemudian diartikan tidak hanya perbuatan yang
melanggar kaidah-kaidah tertulis, yaitu (a) perbuatan yang
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan (b) melanggar hak
subyektif orang lain, tetapi juga (c) perbuatan yang melanggar kaidah
yang tidak tertulis, yaitu kaedah yang mengatur tata susila (d)
kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki
seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta
benda warga masyarakat.[23]
Penilaian mengenai apakah suatu
perbuatan termasuk perbuatan melawan hukum, tidak cukup apabila hanya
didasarkan pada pelanggaran terhadap kaidah hukum, tetapi perbuatan
tersebut harus juga dinilai dari sudut pandang kepatutan. Fakta
bahwa seseorang telah melakukan pelanggaran terhadap suatu kaidah
hukum dapat menjadi faktor pertimbangan untuk menilai apakah perbuatan
yang menimbulkan kerugian tadi sesuai atau tidak dengan kepatutan
yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama
warga masyarakat.
ALASAN PEMBENAR DAN ALASAN PEMAAF DALAM PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Dalam ilmu hukum, khususnya hukum
pidana, terhadap perbuatan melawan hukum dikenal adanya dua macam alasan
yang menjadi dasar peniadaan pidana, yaitu alasan pembenar dan alasan
pemaaf.
Alasan yang pertama yang disebut
dengan alasan pembenar, berhubungan dengan sifat obyektivitas dari suatu
tindakan yang melawan hukum. Dengan alasan pembenar ini suatu tindak
pidana kehilangan unsur perbuatan melawan hukumnya, sehingga siapa pun
juga yang melakukan tindakan tersebut tidak akan dapat dipidana karena
tidak memiliki lagi unsur perbuatan melawan hukumnya. Termasuk dalam
alasan pembenar ini adalah:[24]
- Adanya daya paksa (overmacht, Pasal 48 KUHP)
- Adanya pembelaan yang terpaksa (noodweer, Pasal 49 ayat (1) KUHP).
- Karena menjalankan perintah undang-undang (Pasal 50 KUHP) dan;
- Karena sedang menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP).
Alasan yang kedua disebut dengan
alasan pemaaf yang berkaitan dengan sifat subyektivitas dari tindak
pidana tersebut. Dalam alasan pemaaf ini, seorang subyek pelaku tindak
pidana dihadapkan pada suatu keadaan yang demikian rupa sehingga keadaan
jiwanya menuntun ia untuk melakukan suatu tindakan yang termasuk dalam
tindak pidana. Ini berarti dalam alasan pemaaf ini unsure kesalahan dari
pelaku ditiadakan. Termasuk dalam alasan pemaaf tersebut adalah:[25]
- Ketidakmampuan bertanggungjawab dari pelaku (Pasal 44 ayat (1) KUHP)
- Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (pasal 49 ayat (2) KUHP)
- Hal menjalankan dengan itikad baik, suatu perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 auat (2) KUHP)
Jika kita perhatikan ketentuan
yang diatur dalam KUH Perdata, ketentuan yang meng, ketentuan yang
mengatur mengenai alasan pembenar dan alasan pemaaf bagi debitor yang
tidak dapat melaksanakan prestasinya sesuai dengan kewajiban yang telah
ditentukan dan pada saat yang telah ditetapkan dapat kita temukan dalam
pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata, yang berada dalam Bagian keempat
Bab Kesatu Buku III KUH Perdata yang mengatur mengenai “Penggantian
biaya, rugi dan bunga karena tidak terpenuhi suatu perikatan”. Kedua
pasal tersebut, yaitu Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata, secara
lengkapnya berbunyi :
- Pasal 1244 KUH Perdata
Debitur harus dihukum
untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan
bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu
dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak
terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada
itikad buruk kepadanya.
2. Pasal 1245 KUH Perdata
Tidak ada penggantian
biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal
yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang
terlarang baginya.
Dari rumusan yang diberikan oleh kedua pasal tersebut dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut:[26]
- Yang dimaksud dengan alasan pembenar adalah alasan yang mengakibatkan debitor yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai perikatan pokok/asal, tidak diwajibkan untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga.
- Alasan pembenar dalam alasan pemaaf yang diperbolehkaan tersebut bersifat limitative, dengan perngertian bahwa selain yang disebutkan dalam KUH Perdata tidak dimungkinan bagi debitor untuk mengajukan alasan lain yang dapat membebaskannnya dari kewajiban untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga dalam hal debitor telah cidera janji. Hal ini harus dibedakan dari suatu keadaan dimana kreditor tidak menuntut pelaksanaan penggantian biaya, kerugian dan bunga dari debitor yang telah cidera janji.
- Alasan pembenar dan alasan pemaaf yang diperbolehkan hanya meliputi hal-hal sebagai berikut :
- Untuk alasan pemaaf bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang dapat dipertanggungkan kepadanya, selama tidak ada itikad buruk kepadanya.
- Alasan pembenar karena keadaan memaksa debitor terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.
- Alasan pembenar karena kejadian yang tidak disengaja, debitor terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.
Yang menarik dari kesimpulan
tersebut adalah bahwa persyaratan yang ditentukan dalam masing-masing
huruf a, b, dan c angka 3, dalam tiap-tiap ketentuan bersifat kumulatif.
Dengan ketentuan tersebut berarti debitor tidak dapat diwajibkan untuk
memberikan penggntian berupa biaya, kerugian dan bunga kepada kreditor,
meskipun debitor telah lalai melaksanakan kewajibannya berdasarkansuatu
perikatan pokok/asal, selama dan sepanjang:
- Bagi alasan pemaaf, pasal 1244 KUH Perdata menentukan:
- Ada suatu hal yang tidak terduga sebelumnya pada saat perikatan dilahirkan yang tidak memungkinkan dilaksanakannya perikatan pada saat yang telah ditentukan atau sama sekali tidak memungkinkan pelaksanaan dari perikatan tersebut.
- Hal yang tidak terduga tersebut adalah suatu peristiwa yang berada di luar tanggung jawab debitor. Hal ini adalah wajar mengingat bahwa suatu perikatan yang pelaksanaannya semata-mata digantungkan pada kehendak debitor adalah batal demi hukum. Perikatan tersebut dianggap tidak pernah ada sejak awal. Selain itu dalam hal perikatan tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan yang telah ditentukan, oleh karena terjadinya suatu peristiwa yang masih berada di bawah kemampuan debitor untuk menghindarinya ataupun suatu peristiwa yang diciptakan oleh debitor atau yang terjdi karena kelalaian debitor,
- Debitor tidak memiliki itikad buruk untuk tidak melaksanakan kewajiban yang telah dibebankan padanya berdasarkan perikatan yang telah ada di antara debitor-kreditor. Dengan rumusan negative, yang menyatakan bahwa “selama tidak ada itikad buruk padanya”. KUH Perdata bermaksud menyatakan bahwa cukup debitor berada dalam keadaan netral saja, dan tidak perlu berlebihan dalam menyikapi terjdinya peristiwa yang tidak terduga tersebut, yang tidak berada di bawah tanggung jawabnya, yang menyebabkan debitor tidak dapat melaksanakan kewajibannya berdasarkan perikatan yang telah ada.
- Terhadap alasan pembenar, Pasal 1245 KUH Perdata menentukan syarat
yaitu tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila terjadi :
- Keadaan memaksa;
- Kejadian yang tidak disengaja.
Yang menyebabkan debitor terhalang
untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau melakuan
suatu perbuatan yang terlarang baginya. Kedua hal tersebut, yaitu adanya
keadaan memaksa atau kejadian yang tidak disengaja adalah dua hal yang
bersifat alternative, dengan pengertian bahwa jika salah satu peristiwa
terjadi, maka debitor digapuskan dan kewajibannya untuk memberikan
penggantian biaya, kerugian dan bunga, meskipun debitor tidak memenuhi
perikatan pada waktu yang telh ditetapkan.
KUH Perdata tidak memberikan
pengertian lebih lanjut dari kedu hal tersebut. Jika kita lihat
pernyataan “keadaan memaksa”, yang dikaitkan dengan pernyataan “kejadian
yang tidak disengaja” maka jelas rumusan tersebut menunjuk pada suatu
keadaan yang merupakan kejadian yang berada di luar kekuasaan denitor
sendiri.
Dari uraian yang diberikan di atas
tampak jelas bahwa hukum perdata hanya mengenai ketiga macam alasan
sebagai alasan pempemaaf dan alasan pembenar yang memungkinkanseseorang
yang telah wanprestasi tidak dikenakan ancaman hukuman dalam bentuk
penggantian biaya kerugian dan bunga. Jika kita perhatikan ketiga macam
alasan tersebut, dapat kita katakana bahwa dari ketujuh alasan yang
diberikan dalam ketentuan hukum pidana tersebut di atas yaitu :
- Adanya daya paksa (overmacht, Pasal 48 KUHP)
- Adanya pembelaan yang terpaksa (noodweer, Pasal 49 ayat (1) KUHP)
- Karena menjalankan perintah undang-undang (Pasal 50 KUHP)
- Karena sedang menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP)
- Ketidakmampuan bertanggungjawab dari pelaku (Pasal 44 ayat (1) KUHP)
- Pembelaan terpaksa yang melampaui bata (noodweerexces, Pasal 49 ayat (2) KUHP)
- Hal yang menjalankan dengan itikad baik, suatu perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 ayat (2) KUHP)
Terkait dengan hal tersebut, yang
dihubungkan dengan alsan pemaaf dan alasan pembenar dalam hukum
perdata, dapat dikatakan bahwa ketiga alasan tersebut dapat dikatakan
bahwa alasan pmbenar dalam hukum perdata tersebut adalah sama dengan
keberadaan overmacht, noodweer dan noodweerexces dalam
hukum pidana . Sedangkan dua alasan yang diesbutkan dalam angka 3 dan
angka 4 sudah selayaknya jika ketentuan tersebut sama sekali
menghapuskan unsure perbuatan melawan hukum. Sedangkan dalam kaitannya
dengan ketentuan angka 6 dan angka 7 sebagai alasan pemaaf perlu
diperhatikan ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata yang berbunyi :
“Seseorang tidak hanya bertanggung jawab,
atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas
kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya. “
“Orangtua dan wali bertanggung jawab atas
kerugian yang disebabkan oleh anak-anak yang belum dewasa, yang tinggal
pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orangtua atau
wali. Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili
urusan-urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan
oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang
ditugaskan kepada orang-orang itu. “
“Guru sekolah atau kepala tukang
bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh murid-muridnya atau
tukang-tukangnya selama waktu orang-orang itu berada di bawah
pengawasannya.”
“Tanggung jawab yang disebutkan di atas
berakhir, jika orangtua, guru sekolah atau kepala tukang itu membuktikan
bahwa mereka masing-masing tidak dapat mencegah perbuatan itu atas mana
meneka seharusnya bertanggung jawab”.
PERBEDAAN WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Wanprestasi dan
perbuatan melawan hukum merupakan dua pengaturan dalam hukum yang
seringkali sulit untuk dibedakan oleh kebanyakan orang. Ada yang
menganggap wanprestasi merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum dan
ada pula yang menganggap perbuatan melawan hukum adalah bagian dari
wanprestasi. Hal ini merupakan hal yang wajar karena dalam wanprestasi
maupun perbuatan melawan hukum terdapat pihak yang dirugikan dan pihak
yang menyebabkan kerugian tersebut dituntut untuk mengganti kerugian
yang disebabkannya.
Pada dasarnya terdapat perbedaan-perbedaan dasar antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, yaitu:
- Sumber.
Wanprestasi
dapat terjadi karena terdapat suatu perjanjian sebelumnya, dengan
demikian untuk menyatakan bahwa seseorang telah melakukan wanprestasi
harus terlebih dahulu terdapat perjanjian yang telah dibuat dan
disepakati oleh para pihak. Wanprestasi dapat terjadi karena terdapat
pihak yang ingkar janji atau lalai dalam melakukan prestasi seperti yang
telah disepakati dalam perjanjian. Bentuk-bentukk wanprestasi
diantaranya adalah:
- tidak memenuhi prestasi sama sekali
- terlambat memenuhi prestasi
- memenuhi prestasi namun tidak sempurna
- melakukan perbuatan yang dilarang oleh perjanjian.
Perbuatan
melawan hukum dapat terjadi karena undang-undang sendiri yang
menentukannya. Dalam pasal 1352 KUHPerdata dinyatakan bahwa:
“Perikatan yang
dilahirkan demi undang-undang, bukan karena berdasarkan perjanjian dan
perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan manusia yang ditentukan
sendiri oleh undang-undang.”
2. Pembuktian.
Pembuktian
adalah usaha untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang
dimuatkan dalam suatu sengketa. Masalah pembuktian diatur dalam buku IV
BW, yaitu Pasal 1865 yang berbunyi:
“Setiap orang yang
mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan haknya
sendiri maupun membantah hak orang lain, menunjukkan pada suatu
peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau persitiwa tersebut”.[27]
Menurut pasal 1866 KUH Perdata, alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari:
- Bukti tulisan
- Bukti dengan saksi-saksi
- Persangkaan-persangkaan
- Pengakuan
- Sumpah.
Pembuktian dalam
wanprestasi berbeda dengan perbuatan melawan hukum. Wanprestasi
berdasarkan perjanjian, maka yang harus dibuktikan di pengadilan adalah
hal-hal apa sajakah yang dilanggar dalam perjanjian oleh tergugat,
sedangkan dalam perbuatan melawan hukum yang harus dibuktikan adalah
kesalahan yang telah diperbuat tergugat sehingga menimbulkan kerugian.
3. Proses Penuntutan.
Seseorang yang
dinyatakan melakukan wanprestasi harus terlebih dahulu dinyatakan dalam
keadaan lalai dengan memberikan somasi. Hal ini dituangkan dalam Pasal
1243 KUHPerdata yang mengatakan:
“Penggantian biaya rugi
dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai
diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus
diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu tertentu telah
dilampauinya.”
Maksud “berada
dalam keadaan lalai” ialah peringatan atau pernyataan dari kreditur
tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memenuhi prestasi. Apabila
saat ini dilampauinya, maka debitur telah melakukan wanprestasi.
Tuntutan terhadap perbuatan melawan hukum tidak membutuhkan proses
somasi, dengan begitu ketika perbuatan melawan hukum tersebut dilakukan,
maka pihak yang dirugikan dapat langsung mengajukan tuntutan.
[1] Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 15
[2] www.progresifjaya.com/NewsPage.php?, diakses pada tanggal 7 Juni 2011 pukul 18.30 WIB.
[3] R. Subekti dan R. Tjitrisudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992, hlm 346.
[4] MA. Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hlm. 13.
[5] Ibid.
[6] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Loc cit.
[7] Rachmat Setiawan, Op. cit, hlm. 15.
[8] Setiawan, Empat Kriteria Perbuatan Melawan Hukum dan Perkembangan dalam Yurisprudensi, Varia Peradilan No. 16 Tahun II (Januari 1987): hlm. 176
[9] Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari sudut pandang hukum bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 4
[10] Rachmat Setiawan, Op. cit, hlm. 15.
[11] Ibid.
[12] Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, C.V. Rajawali, Jakarta, 1984, hlm. 458.
[13] Rachmat Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, Bandung, 1999, hlm. 65.
[14] Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 82
[15] Rachmat Setiawan, Op. cit, hlm. 87.
[16] Ibid.
[17] Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melawan Hukum, Sumur Bandung, Jakarta, 1984, hlm. 65
[18] Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 267.
[19] Ibid, hlm. 22.
[20] Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari sudut pandang hukum bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 137.
[21] Eva Novianty, Analisa Ekonomi, FH UI, Jakarta, 2011, hlm. 24
[22] Ibid, hlm 25
[23] Djuhaendah Hasan, Istilah dan Pengertian Perbuatan Melawan Hukum dalam Laporan Akhir Kompendium Bidang Perbuatan Melawan Hukum,
(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI,
1996/1997), hlm. 24. Seperti dikutip oleh Rosa Agustina,
Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana FHUI, 2003),
hlm. 39
[24] Gunawan Widjaja & Kartini Mulyadi, Perikatan yang lahir dari Undang-Undang, Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 144
[25] Ibid, hlm. 144-145
[26] Ibid, hlm. 146-147
[27] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op. cit, hlm. 475
SUMBER ARTIKEL ; http://id.scribd.com/doc/284659890/Perbuatan-Melawan-Hukum#scribd
SUMBER ARTIKEL ; http://id.scribd.com/doc/284659890/Perbuatan-Melawan-Hukum#scribd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar