Selasa, 02 November 2010
Untuk Merapi, Rahim Sang Ibu yang tergenapi
Selasa, 12 Oktober 2010
Dialog Humanis
Segenap rindu segenggam rasa, tak terasa meneteskan darah darah yang merindu, merindu akan kemerahannya yang hangat, menghidupi setiap jalannya, menguatkan setiap nadinya. adakah mereka disetiap jalan yang sepi merasakan darah yang terhampar luas dilautan sana. (Pratikto Dwi Rahardjo)
Setiap rindu akan selalu hangat, tiada yang dapat membunuh rasa sakit dari rindu yang tergenggam, seperti hamparan lautan tak akan bisa terselami hingga maksud rindu pun tersampaikan dan selesai pada waktunya. (Vertex Patra)
Ketika semua tenggelam, semua akan binasa, melewati sedikit kerisauan dan lebih banyak kegundahan, hanya mengeluh serta menerertawaakan diri sendiri, layaknya membunuh sepi dan hiraukan diri sendiri. Janganlah engkau menganggap ringan dunia, memang seperti kapas dunia ini, ketika semua terasa ringan kita akan melayang, ketika dihembus angin nan kencang kita akan mengikuti keadaan. Lawan dan lawan serta berontaklah kita dari keadaan yang penuh kegundahan.(Pratikto Dwi Rahardjo)
Seperti langkah kecil sang gadis kecil bak tarian ringan yang semerengguh, seperti itulah hidup yang harus berlangsung, tiada kecil di dunia, dunia selalu berat seperti massanya, dan akan selalu berubah terhempas seperti kapas, ingat dengarkan dan camkanlah dan waspadalah. (Vertex Patra)
Mari menari mari tertawa bersama, mari nikmati kerinduan kita nanti diakhir zaman. jangan lupakan jangan engkau hapus kenangan kita disemua masa kita. (Pratikto Dwi Rahardjo)
Sabtu, 09 Oktober 2010
CERMIN RIAK HUJAN (EXTENDED LIST)
DENGARKAN DAN RENUNGKAN .......
Minggu, 12 September 2010
SARASVATI EP RIVIEW

(http://www.facebook.com/risasarasvati?ref=ts#!/note.php?note_id=146378648724566).
Lagu tersebut disisipi sentuhan etnik tradisional serta disisipi lirik dengan berbahasa daerah atau berbahasa sunda disertai dengan suara seruling yang menambah kuat karakter dari lagu yang suram, nah setelah saya membaca penjelasan tersebut kemudian saya mendengarkan lagu bilur tersebut, sangat Gloomy dan itu pun membuat saya merinding karena apa yang digambarkan risa dalam penjelasannya sangat kuat terasa dalam setiap lirik lagu bilur yang digambarkan dalam bentuk frase khiasan, ah.... saya tidak bisa komentar jujur saya hanya bisa mendengarkan dan mencoba melayangkan ke dalam imagi lirik lagu bilur.
Gambaran album EP Risa Saraswati tersebut sangatlah Melankolis (saya tidak mau mengatakan gothik karena melankolis adalah kata yang tepat menggambarkan album Sarasvati), Nuansa yang berbeda dengan HOMOGENIC, karena disini Risa Saraswati terlihat mengeksplor habis-habisan sisi melankolis, sehingga terdengar Gloomy dan Gelap tapi tidak suram tepatnya masih terdapat gambaran harapan yang tergambarkan dalam album tersebut. Satu lagi yang tidak pernah hilang yaitu karakter vocal Risa Saraswati yang sangat kuat dan khas, sehingga kita dapat merasakan penjiwaan dari Risa Saraswati, itulah membuat perbedaan yang besar dengan musisi lainnya. Risa Saraswati telah berhasil memberikan Penjiwaan pada setiap lagunya, sehingga kita mungkin bisa merasa merinding ataupun terdiam sejenak ketika mendengarkan lagu-lagu dari EP Sarasvati.
NB:
Jumat, 10 September 2010
NIHIL
SARASVATI EP ALBUM
Selendang bersulam sutra, biduri lembayung jingga...
Saksi mati tuk bersaksi, gelimang pesona diri...
Belia usia dulu, ruap cinta tlah menggebu...
Samar kulihat dunia...tak sadar semua fana...
Sekilas lihatlah mega, anugerah tiada tara...
Ini tak adil untukku, halimun hitam merasuk...
Ceracau getir ibunda, gemertak sengap hatinya...
Firasat tak penah salah...Hanya kuberbuat... Ulah....
Semerbak dupa iringi kumelangkah..
Cungkupku hanya tanah...
Bilur hati merambah...
Akan datangkah bagiku...Kesempatan...
Bila tak ada titian...
Diri yang rupawan...
Bila tak ada titian...Jalan yang....Rupawan...
"Duh, teungteuingeun...tuntung lengkah...geuning...bet peurih..."
NB:
Manusia Stagnan
Kamis, 01 Juli 2010
At a glimpse: Sarasvati: Chapter Two
You recognize Sarasvati as the Hindu goddess of knowledge, arts and music, but music fans in Indonesia probably know of another Sarasvati — Risa Saraswati from the Bandung-based electropop outfit Homogenic.
Sarasvati: Courtesy of Ferry Nurhayat
However, this association is no longer relevant since Risa recently announced she had left Homogenic citing artistic differences. Homogenic’s management said in a statement that Risa had decided to resign from Homogenic because of irreconcilable differences between her future plan and that of the band.
Risa, however, remained tight-lipped about why she had left the band that had introduced her to the Indonesian music scene.
But for Rissa, life has gone on since her departure from Homogenic. She continues to write new material and continues playing music as part of her dedication to fans who have demanded new music from her.
And now Rissa is making a return to the limelight with her new seven-track EP. In fact she is also assuming a new moniker as Sarasvati, after the Hindu goddess mentioned above.
“To be honest with you, being a solo artist is something I have been thinking about for a while,” Rissa told The Jakarta Post. With her outstanding vocal range, which some describe as angelic, she will no doubt be a serious contender for the title of Indonesia’s most cutting-edge female solo performer.
Being a solo performer has also allowed Sarasvati to do something she was unable to with Homogenic — write her own material.
“I wrote five songs for this EP. The other two tracks are my take on other people’s songs,” she said.
The new materials however would not be so dissimilar with her outputs with Homogenic. The song contains the trick that she has perfected over the years with the band, the ethereal and dreamy soundscapes that has become the trademark of Homogenic.
“I’m pursuing my own obsession,” she said.
“With this kind of work, I want people to know that every goodbye leaves us with a hole inside. I’m losing some things. But on the other hand, I want to fill that hole by creating Sarasvati.”
So far, Sarasvati has not had a single stage performance and fans can be forgiven for being skeptical of her new project. Can she live up to her old band’s reputation?
“Well, you can expect something theatrical as you would expect from the tale of Sarasvati,” she said with a smile. But one thing is for sure: When it comes to good music, Sarasvati is no newbie.
One of these days, you can probably download her new single “Oh I Never Know” free. Follow her at www.twitter.com/risa_saraswati for more details.
At a Glimpse is all about the local music scene. Give us a shout at sundayglimpse@gmail.com. Also, become our friend at www.facebook.com/sundayglimpse and follow us at twitter.com/sundayglimpse.
http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/27/at-a-glimpse-sarasvati-chapter-two.html
Kamis, 17 Juni 2010
Epic Symphony – Homogenic
album ini bagus. secara musikal sangat top dan lebih hebatnya lagi karakter yang sudah terbentuk sejak debut album ini.. musik mereka sangatlah Homogenic, ya walaupun masih ada rasa rasa dari para pendahulu elektro pop with female vocal seperti dubstar, everything but the girl (ebtg). Tapi musik Homogenic memiliki kedalaman nya tersendiri yang hanya bisa didapat di album ini.
Homogenic atau terbentuk dari bagian bagian yang serupa atau identik. Musik mereka semuanya terbentuk dari pola pola yang homogen. Beat sintetis, keyboard dan vokal. Bebunyian yang nyaris serupa itu dipadu sedemikian rupa sehingga tidak jatuh dalam perangkap monotonitas atau kebosanan.
Hogenitas tiap tiap lagu membentuk kesatuan album yang sinambung… nyaris tanpa cacat. Bunyi bunyian yang sintetis dan dingin dapat dibayangkan sebagai dunia es yang terbuat dari kaca rapuh. Dengan nuansa ethereal yang sangat kental sekali.
Coba pejamkan mata. Rasakan jiwa musik mereka yang dingin.
Digabung dengan hangatnya vokal Risa. Yang bisa bernyanyi dengan lembut tapi bertenaga. (tenaga lembut) ingat lembut, bukan lelembut.
Progresi ditiap lagu terasa lancar, begitu pula progresi album ini.. semua mengalir dengan hasil pengalaman perlagu yang berbeda beda. Seperti sebuah perjalanan melayang di dunia es kaca yang dingin ditemani bunyi roda kereta yang berdentum sesuai irama dan suara yang menghangatkan.
Beberapa lagu bisa benar benar mempengaruhi emosi. Karena adanya penjiwaan yang benar benar baik. Salah satu lagu terkuat dalam bahasa Indonesia?semu? entah kenapa bisa memunculkan kesedihan yang misterius.
Ataupun lagu berbahsa Inggris ?faithfull dream? yang memunculkan perasaan serupa dengan saat kita terbangun dari mimpi yang mengharukan. Misalnya mimpi bertemu dengan orang kesayangan yang telah meninggal. Atau ketemu dengan bleki kesayangan kita yang mati karena flu. Sedih dan bahagia bercampur aduk.
?Taste of Harmony? membawa kita jalan jalan lagi ke dunia mimpi yang penuh khayalan bahagia, dimana semuanya sangat serasi (harmonis) dan sangat nyaman untuk bermain dan bergembira. Seperti bermain petak jongkok dicincin Jupiter, atau Gobaksodor di aurora atau seru juga maen prosotan di Pelangi.
Tadi adalah lagu lagu terkuat di album ini.tapi lagu lagu lain pun memainkan emosi pendengar seperti membangkitkan kenangan masa lalu, sesuai dengan kekuatan masing masing lagu,
Semua empati yang dihasilkan oleh musik Homogenic dihasilkan dari beat sintetis, dan keyboard, dan beberapa additional gitar. Dan tentu saja kekuatan vokal yang sangat berperan disini dalam menemani kita menjelajahi dunia mimpi. Itu dari sisi musikal.
Hal yang mengganggu kesinambungan album ini, justru datang dari bahasa. Bahkan saat didengarkan sambil tidur tiduran rileks pun, pergantian dari lagu berbahasa Inggris ke lagu berbahasa Indonesia bisa menjadi pengganggu. Walaupun kecil, tapi menurut gue sih harus tetap diperhatikan.
Seperti muncul perasaan yang aneh… seperti berada di udara sejuk Lembang Jawa Barat lalu tiba tiba ada di pedesaan dingin Iceland…untuk lebh ekstremnya mungkin sebuah album kompilasi antara Iwan Fals dengan Bob Dylan.. adanya jurang kebudayaan… ngga seekstrem itu sih,
Adanya dua bahasa bisa jadi untuk awal permulaan mencari jati diri, tetapi justru bisa mengaburkan karakter Homogenic yang sebenarnya sudah terbentuk. Seperti bumerang yang jika tidak dikuasai dengan baik justru akan menyerang kediri sendiri.
Sumber: http://deathrockstar.info/epic-symphony-homogenic/
Jumat, 11 Juni 2010
Manusia Taat(Diberkatilah manusia yang penuh dengan kesesakan )
Kamis, 03 Juni 2010
Diberkatilah manusia yang penuh dengan kesesakan
Jumat, 28 Mei 2010
hybrid moments by the misfits (cover by EVERYBODY LOVES IRENE)
Moments like this never last
When do creatures rape your face
Hybrids opened up the door
Ooh baby when you cry
Your face is momentary
You hide your looks behind these scars
In hybrid moments
Give me a moment
Give me a moment
Give me a moment
Ooh baby when you cry
Your face is momentary
You hide your looks behind these scars
In hybrid moments
In hybrid moments
In hybrid moments
In hybrid moments
Give me a moment
Give me a moment
Kamis, 27 Mei 2010
On Nights Like These by Swinging Stars Management
On Nights Like These by Swinging Stars Management
Ditulis pada 17 Aug 2009 | oleh Redaksi | Dalam Rubrik: For EventKamis malam (13/08) kemaren di area ballroom Bumi Sangkuriang (BS) jadi saksi satu gelaran seru yang digagas oleh Swinging Stars Management, yes acara itu bernama On Nights Like These! Event yang rencananya akan digelar secara regular itu menghadirkan band-band indie pop kenamaan kota Bandung seperti Annemarie, Cascade, Hollywood Nobody, Olive Tree dan tentunya Mocca. Event malam itu juga dihadiri tamu dari Beatball Record Korea dan Inthebox Record Malaysia yang sengaja hadir untuk menyaksikan event yang diusung management band Mocca ini.
Acara dimulai sekitar pukul setengah 8 malam, saat For tiba Annemarie yang digawangi 2 orang personil cewek pada posisi vocal dan keyboard ini sedang tampil dihadapan para penonton yang asik berduduk-duduk santai. Pop versi Annemarie ini cukup unik (seperti band-band indie pop Bandung lainnya yang selalu beda dari yang lain), di penghujung penampilannya Annemarie berbaik hati dengan membagikan permen para penonton On Nights Like These malam itu. Setelah itu tibalah penampilan dari band yang paling saya tunggu-tunggu, band dengan vokalis bersuara unik itu bernama Olive Tree. Olive Tree malam itu tampil featuring dengan Boni, salah satu personil dari band Rock and Roll yang tiada lain tiada bukan adalah suami dari Kiki Chan vokalis Olive Tree. Band yang mengklaim music mereka dengan sebutan Strawberry Rock ini membawakan lagu-lagu hits mereka seperti Psycho Girl, Winter Holiday dll. Permainan piano dan suara khas dari Kiki Chan ini mendapatkan sambutan hangat dari para penonton yang hadir malam itu. Pertunjukan dilanjutkan dengan penampilan dari Cascade yang membawakan lagu-lagunya dari EP mereka yang bertajuk Pieces of The World seperti single mereka the Hypnotize dan lagu berjudul She Pretend yang membawa mereka sebagai salah satu finalis LA Indie Fest beberapa taun lalu. Selain Cascade tampil pula Hollywood Nobody yang gak kalah keren malam itu, dengan pop, jazz dan bossanova ala Hollywod Nobody membuat para penonton tampak sangat menikmati pertunjukan malam itu. Ballroom BS yang dihadari ratusan penonton yang kebanyakan dressed to kill untuk datang ke event ini dibuat bernyanyi bersama Hollywood Nobody saat mereka membawakan lagu Love Song dari The Cure yang mereka cover ulang dengan aransemen yang sangat catchy.
Jam dinding BS menunjukkan pukul 10.00 malam dan para penonton terlihat gak sabar menunggu penampilan berikutnya di On Nights Like These, apalagi kalo bukan penampilan dari Arina, dkk dari Mocca! Tanpa banyak basa-basi Mocca langsung menyuguhi para Swinging Friends dengan lagu-lagu andalan mereka yang sudah tidak asing lagi ditelinga para penonton malam itu, sebut saja Lucky Me, Me and My Boyfriend, dll. Pada lagu Do What You Wanna Do, Arina mengajak semua vokalis yang tampil malam itu untuk gabung ke panggung dan bernyanyi bersama, jangan tanya hasilnya seperti apa karena lagu itu menjadi lebih hidup setelah dinyanyikan berbagai karakter vokalis dari Cascade, Olive Tree, Hollywood Nobody dan Annemarie. Pertunjukan pun usai sekitar pukul 10.45 malam dan penonton yang datang malam itu tampak puas termasuk crew For yang dapat menikmati acara ini dengan sangat nyaman dan diperlakukan dengan sangat baik oleh para panitia. So, thanks a lot to Swinging Friends Management, all performer and the crowd. Keep support indie Bandung. (Words & Photos: Mahardhika U & Rizki R)
Sumber; http://formagz.com/for-event/on-nights-like-these-by-swinging-stars-management
LIRIK ALBUM "LET A THOUSAND FLOWERS BLOOM"
Destiny, here I am
Giving all my day, I never felt so in love before
When forever is not enough
Nothing can tear us apart
Reff:
To be at your side, whenever, wherever
To be in your heart, whenever, wherever
Happy without you
Are you happy without me
‘coz I’m happy without you
You don’t have to feel sorry
‘coz I’m happy without you
For all the things we’ve done
For all the things we’ve runaway
You don’t have to feel sorry
I’m not sure if I’m still hoping
But one for sure there’s no sad feeling
Maybe I must admit that I’m happy being alone
Reff ;
Happy Monday.
Happy Tuesday. Happy Wednesday
Everyday is happy day,
Everyday is something else to face
Am I
I turn myself away
Where we cannot stay
We’ve struggling each day
Many possibilities
Reff :
Am I hurting you that much
Am I putting you in doubt
Did I treat you so unkind
Do I have to lose you now…
Words still work to say
But my feelings are never fake
In a never ending way
Time goes by, pass me by
Don’t stop, turn around
Something I can't hide
Beyond lust and wonder
Suddenly I stand up with my heart wide open
That is full of sadness and sorrow
Like a desert miss the rain
Honestly I think I need love, I think I need love
Far from glory
Far from tears
Far from falsehood
Far from white lies
Far from mysteries
Far from pity
Truly loving
Reff:
Beautifully loving, what should we be scared about?
Beautifully caring, why should we doubt then again?
Something I can’t hide from you
Best day
Sky is blue and so are we
Can you feel it, see it
Love is full all around us
Can you feel it, see it
Call my name ( don’t ever doubt us , I’m here with you)
Feel the pain
Reff :
Everyday is the best day for us
Can you feel the atmosphere
Everyday is the best day for us
To say I need you
I have to tell you my love is so true
Make me so blue
All so brand new
Dear lullaby (bonus track)
Dear, the night is so cold
And I can’t close my eyes
Thinking of you
If stars could bring you here
I would be so pleased
‘coz I’ll feel safe
and I’ll feel warm, beside you
always by my side
dear, the room is quiet
and I can’t hear a voice
a voice that I hope
to sing me a lullaby
take me to my deep…deep..sleep
I hope you are my destiny
distorsi dan noise.
Radio
On the radio
I hear your voice
Calling love repeatedly
What a song for me, that reminds me of
Something that I couldn’t hold
Baby I’m in trouble
No, you’re in trouble
Yes we’re in trouble
But, it’s sweet anyway
Reff:
I might miss you
No…
Yes I miss you
Gonna-gonna miss you
I might be runaway from you
No…..
Yes I’ running from you
But I’m gonna-gonna miss you
On the radio I hear your voice
Calling love repeatedly
Like a sought for me calling out (to me), but I’m not going back
Maybe someday
Surrealism
Come over me
Prepare for journey
Of all certainty
Tonight we’ll sleep at the star
Covered by the cold
Holding up your breath
Imagine where we gonna end up the day
Reff :
Flying fast to the highest height of sky
Terrifying….
Dancing over the the stardust around us
Fascinating……
See all the world from the other galaxy
Magnifying….
Just believe what you see….
Is it love
It’s So long, Old days..
It’s time to stand up
Facing a new day(full of surprises)
Coz I feel something I can’t imagine
Truly amazing i wonder
Reff:
Is it love, one I can’t pretend
Is it love, or more than just a friend
Is it truly from heart
Is it truly from heart? What should I say?
Why is it hard to explain? (What should I do?)
It's too hard to understand (confusing...)
(confusing...)
on and on and on
Weeping mother earth
What if the air is hard to breathe
Can you stand without it
What if the world is stop turning
Where will you gonna live
Reff :
Stop make me dying fast
I Still want to living life
To See the sun, see the moon breath the air
Please care for the green trees
And all the life inside it
Then I’ll treat you (well)
I’ll give you better life
What if the sky is not again… blue
What if the stars is disappear too
Don’t you gonna miss it?
I’ll be yours (bonus track)
Love is spreading slowly into my vein
Turning up side down haunting my brain
Whenever you’re at my side
Reff :
If you could heal my heart then I’ll be yours
Forever I’ll be yours
Seringan awan
Disini semua berawal
Walau seribu Tanya bicara
Terbungkam oleh pesona
Tanpa arah, semakin jauh
Ku bertahan
Haruskah ku hilang, tanpa pesan
Akankan ku rindu, semua kesan
Reff:
Sentuhlah hatiku, rasakannya berbeda
Rengkuhlah pikirku, bawaku ke duniamu
Dengarlah harapku, akankah kau mengerti
Bila hadirmu buat hatiku, seringan awan
Disini semua terungkap
Walau nyata enggan berkata
Terbungkam oleh prahara
Berganti cerah(Senja Berganti)
Simfoni tiada batas
Cerau sayup lepas
Juwita kaupun gamang
Senja takkan hilang
Reff:
Ironi dalam kalbu
Mendayung lirih sukma
Gemilang kau jelita
Renaimu berganti cerah
Sampai jumpa
Sampai jumpa dunia
Ku kan pergi sementara
Jangan kau bimbang
Kapanpun ku akan pulang
Tak lelah ku berlari
Coba raih semua mimpi di atas awang
Bilakah lelah ku tak gentar
Semua mimpi, kucari
Semua mimpi, kuraih
Reff :
Ku kan gapai dunia di atas sana
Kapanpn ku tiba
Ku kan bawa cerita, berbagi tawa
Terimakasih semua
Minggu, 25 April 2010
Konser dalam rangka pesta merilis album baru mereka, digelar di Dago Tea House yang dingin dan nyaman.
Sabtu, 17 April 2010, FFWD Records menggelar konser launching album bagi dua band yang di bawah naungan labelnya bertempat di Dago Tea House Bandung. Malam itu Hollywood Nobody, finalis LA Lights Indiefest meluncurkan album perdananya Everything Happen For A Reason. Band yang terbentuk pada 29 September 2005 di Bandung ini mempunyai formasi: Dian Safitri Irawan (vocal), Romy Febriansyah (guitar), Irma Wahyuni Irawan (keyboard), Luthfi Erizka (drum), dan Dendy Revolusi (bass). Everything Happen For A Reason dipilih menjadi nama album perdana Hollywood Nobody karena kalimat tersebut mempresentasikan perjalanan band yang mengusung musik bossanova ini selama 5 tahun bermusik. “ Selama lima tahun ini kami menjadi banyak belajar mengenai musik, baik dari segi memperdalam musikalitas kami maupun menggali pengalaman mengenai industri musik, kami pun sebelumnya tidak menyangka bahwa band kami akan menggelar konser,” kata Dian pada saat konferensi pers beberapa jam sebelum konser.
Selain Hollywood Nobody, band electronic Homogenic yang sebelumnya sudah mempunyai dua album yang berjudul Epic Simphony dan Echoes of The Universe meluncurkan album ketiganya yang diberi nama Let a Thousand Flowers Bloom sekaligus memperkenalkan vokalis baru mereka yakni Amandia Syachridar yang menggantikan Risa Saraswati. Perbedaan visi dan kepindahan Risa untuk melanjutkan pendidikan ke negeri kanguru Australia merupakan alasan kuat bagi Risa untuk meninggalkan band yang telah menelurkan dua album bersamanya.
Sosok Amandia Syachridar lebih dikenal melalui karyanya bersama Andezzz (departure:people) pada medio 2006, biduan ini juga merupakan salah satu anggota EMS choir group yang pernah memenangkan festival musik di Korea beberapa waktu silam. Selain itu Amanda juga sering melakukan klaborasi dengan beberapa DJ ternama, seperti DJ Winky, DJ Delizious Devina, DJ Alvin 1945, dll. Kedekatan Amandia dengan dunia musik elektronik merupakan salah satu alasan Homogenic menarik dirinya sebagai vokalis baru. Karakter vokal Amandia yang manis dan bright merupakan daya tarik lain bagi Homogenic yang dinilai cocok dengan album teranyar yang mempunyai nada-nada yang bernuansa optimis, positif, cheerful, dan uplifting. “Album baru Homogenic kini tidak didominasi oleh unsur mood gloomy, dark, dan hopeless, oleh karena itu kehadiran Amandia dapat memberikan nuansa yang lebih bersemangat dan ceria,” kata Dada sang manager Homogenic.
Terlambat dua jam, pukul setengah sembilan malam konser pun dimulai, Dago Tea House sudah dipenuhi oleh penonton yang mengambil posisi di tempat duduk yang tersedia. Diwajibkannya penonton untuk duduk dan larangan merokok selama konser berlangsung, membuat penonton serasa menonton di bioskop. Tirai yang tadinya menutupi panggung pun dibuka. Hollywood Nobody tampil pertama. Setelah menyapa penonton Dian dkk membuka penampilan dengan dua lagu sekaligus termasuk tembang manis berjudul “Ballad of A Hero” yang terdengar tetap manis di tengah beberapa gangguan sound system. Dilanjut dengan “Into Hate,” perpaduan dinginnya sound gitar akustik dari Romy dan permainan bass yang melodius cukup memukau para penonton.
Dalam penampilannya malam itu Hollywood Nobody dibantu oleh backing vocal Ay dari Baby Eats Cracker dan Ucay Alone At Last yang tampil mengisi solo gitar pada lagu Secret Nobody Knows. “High heels ini membunuhku,” kata Dian sang vokalis sambil menbuka sepatunya sebelum memperkenalkan lagu-lagu Hollywood Nobody dalam album perdananya seperti “The Boy And a Guitar”, “Woe To You Lover”, “I Write This Song For You”, “Love Me”, “Theories”, dan “No Excistense Could Be Harder.”
Nampaknya penonton masih belum familiiar dengan lagu-lagu Hollywood Nobody walaupun setiap lagu mendapat sambutan tepuk tangan yang meriah. Nomor yang ditunggu para penonton adalah cover version dari The Cure yakni lagu yang berjudul “Love Song”. Cover version yang aransemennya bernuansa jazz mampu membuat ikut bernyanyi. Suasana dingin dan cozy yang dibangun Hollywood Nobody sejak dari lagu pertama membuat penonton bosan dan mengantuk. Entah karena musik yang diusung oleh Hollywood Nobody atau aksi panggung yang kurang atraktif membuat beberapa penonton tertidur. Hollywood Nobody menutup penampilan mereka dengan single pertamanya yang berjudul "Telescope."
Homogenic langsung menyapa para Savior--sebutan bagi penggemar Homogenic—dengan lagu yang diambil dari album terdahulu yang berjudul “Utopia” pada pukul sepuluh malam. Kesan mengawang dan gloomy langsung sirna ketika mendengar lantunan suara dari Amandia sang vokalis baru. Perubahan aransemen ditambah pembawaan vokal yang ceria mampu membangunkan penonton dari rasa kantuk. Konser launching album Homogenic ini merupakan debut dari Manda tampil di hadapan banyak orang bersama Homogenic. Meskipun malam itu merupakan penampilan perdana Amandia bersama Homogenic, wanita yang akrab disapa Manda ini tidak kaku bahkan bernyanyi dengan kualitas vokal yang ciamik.
Berbeda dengan penampilan penampilan sebelumnya, kini Homogenic tampil dengan format full band. Selain tiga personil utama yakni Deena (keyboard), Grahadea( Programming), dan Amandia (vokal), malam itu Homogenic dibantu oleh Hari (bass), Bintang (perkusi), Gebeg (drum) dan Maradila (backing vocal). Latar belakang Gebeg sebagai additioanal drum bagi banyak band cadas di Bandung, memberikan power dan permainan drum yang dinamis bagi penampilan Homogenic. Pria yang juga dikenal sebagai penyiar kocak di salah satu radio swasta di Kota Bandung sesekali memasukan gaya permainan drum yang atraktif seperti teknik double pedal sehingga membuat lagu-lagu yang dibawakan menjadi lebih hidup dan berisi. Terbukti para penonton beberapa kali meneriakan nama Gebeg yang disambut dengan raut wajah bahagia dari pria di balik drum ini. Lagu berjudul “Radio” dari album baru langsung diperkenalkan yang tanpa banyak basa-basi langsung disambung ke lagu berikutnya, “Am I.”
Penampilan Homogenic malam itu tak dipungkiri lagi dapat membius penonton, apalagi ditambah visual yang menakjubkan dari Guntech. Di tengah-tengah penampilannya mereka membawakan lagu “Senja Berganti” yang khusus ditujukan bagi sang ex-vokalis Risa Saraswati yang malam itu juga hadir. “Lagu ini untuk our lovely sister, Risa,” ucap Deena.
Selanjutnya Manda menceritakan mengenai konsep album, judul Let a Thousand Flowers Bloom yang memiliki arti membiarkan ide-ide baru bermunculan di masyarakat. Pada album ini juga berisikan sebuah kampanye Hope and Change yang menjadi isu penting di dunia saat ini. Pada album ketiga ini, mereka melibatkan 12 penulis untuk menginterpretasikan lirik-lirik yang lagu yang diubah menjadi tulisan untuk membangkitkan semangat Hope and Change.
Selain melibatkan penulis, pada album ini juga mereka melibatkan Arina (Mocca) dan Widi (Maliq and D’essentials) dalam proses rekamannya. Dalam pembuatan desain album, mereka melibatkan seniman grafis asal Indonesia yang namanya tengah naik daun di dunia desain internasional, Arkiv (Rasyid Vilmansa). Seniman grafis ini tengah mempersiapkan pamerannya di Boston, Amerika Serikat.
Kehadiran Manda sebagai vokalis baru Homogenic benar-benar membawa hawa segar malam itu, Lagu-lagu baru mereka seperti “Destiny”, “Something I Can’t Hide”, “Happy Without You”, “Is It Love”, “Weaping Mother Earth”, “I’ll be Yours”, dan single pertama “Seringan Awan” dibawakan dengan elegan yang dipadukan dengan penghayatan vokal yang maksimal. Setelah lagu “Sampai Jumpa” yang berirama bossanova, Homogenic menutup konser malam itu dengan encore lagu yang diambil dari album terdahulu “ Kekal” dan “Transmutasi”.
Sumber WWW.rollingstone.co.id/read/2010/04/20/684/5/1/Homogenic-dan-Hollywood-no-body-merilis-album
Jumat, 19 Maret 2010
Revolusi Tiongkok Pertama 1925-1927 adalah sebuah revolusi proletarian yang otentik. Tetapi revolusi tersebut gugur sebelum waktunya karena kebijakan-kebijakan keliru yang diinstruksikan Stalin dan Bukharin, yang menempatkan klas pekerja Tiongkok di bawah borjuasi yang konon demokratis pimpinan Chiang Kai-shek. Partai Komunis Tiongkok (PKT) melebur ke dalam Kuomintang (KMT). Bahkan, Stalin mengundang Chiang Kai-shek untuk menjadi anggota Komite Eksekutif Komunis Internasional (Komintern).
Kebijakan pembawa malapetaka ini menyebabkan kekalahan yang katastrofik pada tahun 1927 ketika sang “borjuis-demokrat” Chiang Kai-shek mengorganisir pembantaian terhadap orang-orang Komunis di Shanghai. Penghancuran klas pekerja Tiongkok menentukan watak Revolusi Tiongkok selanjutnya. Sisa-sisa Partai Komunis melarikan diri ke pedesaan. Di sana mereka mulai mengorganisir perang gerilya berbasis kaum tani. Secara fundamental ini mengubah jalannya Revolusi.
Kebusukan Borjuasi
Revolusi 1949 berhasil karena kebuntuan feodalisme dan kapitalisme di Tiongkok. Nasionalis-borjuis Chiang Kai-shek, yang merebut kekuasaan pada tahun 1927 di atas mayat-mayat para pekerja Shanghai yang tercabik-cabik, mempunyai dua dekade untuk menunjukkan apa yang dapat diperbuatnya. Tetapi, pada akhirnya Tiongkok semakin bergantung pada imperialisme, persoalan agraria tetap tidak terselesaikan, dan Tiongkok masih merupakan sebuah negeri yang terbelakang, semi-feodal, dan semi-kolonial. Borjuasi Tiongkok, bersama dengan semua klas ber-properti lainnya, bertali-temali dengan imperialisme dan membentuk sebuah blok reaksioner untuk menentang perubahan.
Kebusukan borjuasi Tiongkok tersingkap manakala kaum imperialis Jepang menyerang Manchuria pada 1931. Semasa perjuangan untuk mengalahkan para penyerbu Jepang, kaum Komunis Tiongkok menawarkan sebuah front-persatuan kepada kaum borjuis-nasionalis Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek. Tapi, dalam kenyataannya level kerjasama antara pasukan-pasukan Mao dan KMT semasa Perang Dunia Kedua minim adanya. Aliansi PKT dan KMT adalah front-persatuan dalam namanya saja.
Perjuangan Tiongkok melawan Jepang terjadi seiring dengan berkobar dan meluasnya Perang Dunia Kedua (PD II). Kaum Komunis memiliki andil terbesar dalam perjuangan melawan Jepang. Di lain pihak pasukan-pasukan KMT lebih mengkonsentrasikan diri untuk memerangi kaum Merah. Pada Desember 1940, Chiang Kai-shek menuntut agar Tentara Baru Keempat PKT angkat kaki dari Provinsi Anhui dan Provinsi Jiangsu. Ini menyebabkan bentrokan besar antara Tentara Pembebasan Rakyat (TPR atau PLA, People’s Liberation Army) dan pasukan-pasukan Chiang. Beberapa ribu orang tewas. Ini menandai berakhirnya apa yang disebut-sebut sebagai front-persatuan.
PD II berakhir dengan semakin menguatnya imperialisme AS dan Rusia-nya Stalin. Konflik yang tak terelakkan di antara mereka sudah terlihat jelas sebelum akhir Perang tersebut. Pada 9 Agustus 1945, pasukan-pasukan Soviet meluncurkan Operasi Ofensif Strategis Manchuria (Manchurian Strategic Offensive Operation) untuk menyerang Jepang di Manchuria dan di sepanjang perbatasan Tiongkok-Mongolia. Dalam sebuah serangan kilat, tentara Soviet menghancurkan tentara Jepang dan menduduki Manchuria. 700 ribu pasukan Jepang yang ditempatkan di wilayah itu menyerah. Tentara Merah menaklukkan Manchukuo, Mengjiang (pedalaman Mongolia), bagian utara Korea, bagian selatan Sakhalin, dan Kepulauan Kuril
Kekalahan kilat yang dialami Tentara Kwantung-nya Jepang oleh Tentara Merah tidak disebut-sebut oleh siapapun sekarang ini. Tapi ini merupakan faktor yang signifikan dalam menyerahnya Jepang dan berakhirnya PD II. Ini juga merupakan unsur yang signifikan dalam perhitungan Washington di Asia. Kaum imperialis AS takut jangan-jangan Tentara Merah Soviet akan langsung bergerak melalui Tiongkok dan memasuki Jepang, sebagaimana Tentara Merah Soviet telah mencapai Eropa Timur. Jepang akhirnya menyerah kepada AS setelah Angkatan Udara AS menjatuhkan bom-bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Tujuan utama dari penghancuran kota-kota Jepang ini adalah untuk memperlihatkan kepada Stalin bahwa sekarang AS telah memiliki senjata baru yang mengerikan dalam gudang senjatanya.
Di bawah kondisi “menyerah tanpa syarat”-nya Jepang yang didiktekan oleh Amerika Serikat, pasukan Jepang diperintahkan untuk menyerah kepada pasukan Chiang, dan bukan kepada kaum Komunis di wilayah-wilayah Tiongkok yang diduduki. Sebab-musabab pasukan Jepang menyerah kepada Uni Soviet semata-mata karena KMT tidak mempunyai pasukan di sana. Chiang Kai-shek memerintahkan pasukan Jepang agar tetap berada di pos mereka untuk menerima KMT dan tidak menyerahkan senjata mereka kepada kaum Komunis.
Setelah Jepang menyerah, Presiden AS Truman sangat jelas berkenaan dengan apa yang dimaksudnya dengan “menggunakan Jepang untuk membendung kaum Komunis.” Dalam memoarnya ia menulis, “Sepenuhnya jelas bagi kita bahwa bila kita memerintahkan Jepang untuk segera meletakkan senjata mereka dan berangkat ke daerah pesisir, segenap negeri akan diambilalih oleh kaum Komunis. Karena itu kami harus mengambil langkah yang tidak biasa, yakni menggunakan lawan sebagai sebuah garnisun sampai kita dapat mengangkut pasukan Nasional Tiongkok ke Tiongkok Selatan dan mengirim Angkatan Laut untuk menjaga kota-kota pelabuhan laut.”
Stalin dan Revolusi Tiongkok
Posisi apa yang diambil Moskow dalam semua perkara ini? Mula-mula Tentara Merah mengizinkan TPR untuk memperkuat posisinya di Manchuria. Tapi, pada November 1945 Tentara Merah berbalik dari posisi semula. Chiang Kai-shek dan imperialis AS merasa ngeri terhadap prospek pengambilalihan Komunis atas Manchuria setelah kepergian Soviet. Karena itu Chiang membuat kesepakatan dengan Moskow untuk menunda penarikan-mundur mereka sampai ia selesai menempatkan cukup anak buah yang paling terlatih serta perlengkapan modernnya ke wilayah tersebut. Pasukan KMT kemudian diangkut ke wilayah itu dengan pesawat udara Amerika Serikat. Lalu pihak Rusia mengizinkan mereka untuk menduduki kota-kota kunci di Tiongkok Utara. Sementara itu pedesaan tetap di bawah kontrol PKT.
Kenyataannya, Stalin tidak mempercayai pemimpin-pemimpin PKT. Ia tidak yakin bahwa mereka akan berhasil merebut kekuasaan. Birokrasi Moskow lebih tertarik untuk mempertahankan hubungan persahabatan dengan pemerintahan Chiang Kai-shek daripada mendukung Revolusi Tiongkok. Setelah Revolusi, dengan getir Mao mengeluhkan bahwa duta besar asing terakhir yang meninggalkan Chiang Kai-shek adalah duta besar Soviet. Stalin mendesak Mao untuk bergabung dalam pemerintahan koalisi dengan Kuomintang, sebuah gagasan yang mula-mula diterima Mao:
“Sementara perang berlanjut, Mao Tse-tung telah menuntut agar kaum Nasionalis setuju untuk mendirikan sebuah pemerintahan koalisi guna menggantikan pemerintahan satu-partai mereka, dan Stalin dan Molotov telah mengatakan bahwa kedua pihak Tiongkok harus bertemu. Pada 14 Agustus 1945, Uni Soviet bergerak selangkah lebih jauh. Ia merundingkan dengan pemerintahan Chiang Kai-shek sebuah Perjanjian Persahabatan dan Aliansi Tiongkok-Soviet (Sino-Soviet Treaty of Friendship and Alliance). Selanjutnya Stalin menasihati kaum Komunis Tiongkok bahwa pemberontakan mereka “tidak memiliki prospek” dan bahwa mereka harus bergabung dengan pemerintahan Chiang serta membubarkan tentara mereka.”
“Pada hari yang sama, kaum Nasionalis menandatangani Perjanjian mereka dengan Uni Soviet, Chiang Kai-shek – atas desakan Jenderal Hurley – mengundang Mao Tse-tung agar mengunjungi Chungking untuk ikut dalam diskusi.” (Edward E. Rice, Mao’s Way, p.114, penekanan saya, AW)
Pada akhirnya, karena tak terelakkan, perundingan-perundingan gagal dan perang sipil dimulai lagi. Uni Soviet memberikan bantuan yang sangat terbatas kepada TPR, sementara AS membantu kaum Nasionalis dengan pasukan dan perlengkapan militer senilai ratusan juta dollar. Jenderal Marshall mengaku bahwa tidak ada bukti apapun bahwa Uni Soviet memasok TPR. Faktanya, TPR merebut senjata-senjata yang ditinggalkan Jepang, termasuk beberapa tank. Belakangan, sejumlah besar pasukan KMT yang terlatih dengan baik menyerah dan bergabung dengan TPR dengan membawa persenjataan mereka. Senjata-senjata tersebut hampir semuanya dibikin di AS.
Pasukan-pasukan Soviet secara sistematis membongkar basis industrial Manchuria (senilai sampai 2 milyar dollar), memuat ke kapal seluruh pabrik-pabrik ke USSR. Faktanya, sebagaimana telah kita lihat, Stalin skeptis tentang prospek keberhasilan Mao, dan berusaha untuk mempertahankan hubungan yang baik dengan Chiang Kai-shek, sebagaimana ditunjukkan oleh Schram: “Polanya terus dibikin kabur baik oleh kesibukan Stalin dengan keamanan negara Soviet, maupun oleh tidakadanya antusiasmenya terhadap sebuah gerakan revolusioner yang dinamis yang mungkin tidak dapat dikendalikannya.” (Stuart Schram, Mao Tse-Tung, hlm. 239.)
Jadi, benih-benih konflik Sino-Soviet sudah ada sejak awal: bukan sebuah konflik ideologis, seperti yang seringkali dikemukakan, tetapi sekadar sebuah konflik kepentingan antara dua birokrasi yang saling bersaing, yang masing-masing dengan penuh kewaspadaan membela kepentingan-kepentingan nasional sempit, wilayah, sumber daya, kuasa, dan hak-hak istimewa mereka. Nasionalisme yang sempit ini sepenuhnya kontras dengan internasionalisme proletariannya Lenin dan Trotsky. Lenin menyatakan dalam lebih dari satu kali kesempatan bahwa ia akan bersedia untuk mengorbankan Revolusi Rusia bila itu diperlukan untuk mencapai kemenangan revolusi sosialis di Jerman.
Bila Stalin dan Mao berdiri di atas program Leninisme, sudah seharusnya mereka akan segera mengedepankan penciptaan sebuah Federasi Sosialis Uni Soviet dan Tiongkok, yang akan memberikaan faedah yang luar biasa besar bagi seluruh rakyat. Akan tetapi hubungan-hubungan mereka malah didasarkan pada kepentingan-kepentingan nasional yang sempit dan kalkulasi-kalkulasi yang sinis. Pada akhirnya ini mengakibatkan situasi yang sangat-sangat buruk, di mana para “kamerad” Rusia dan Tiongkok menggelar “perdebatan” dengan menggunakan bahasa roket dan selongsong artileri mengenai perbatasan yang dibuat pada abad ke-19 oleh seorang Tsar Rusia dan Kaisar Tiongkok.
AS Membantu Chiang Kai-shek
Pihak Amerika berambisi untuk membuat Tiongkok menjadi wilayah pengaruh AS (yang dalam praktik, sebuah negeri semi-koloni) setelah PD II. Tetapi, setelah semua pengalaman kelam PD II, rakyat Amerika tidak bakalan siap untuk mendukung sebuah peperangan baru dalam rangka menaklukkan Tiongkok. Yang lebih penting, tentara-tentara Amerika pun tidak akan siap untuk bertempur dalam peperangan seperti itu. Karena itu, ketidakmampuan imperialisme AS untuk mengintervensi Revolusi Tiongkok adalah sebuah unsur penting dalam rumusan politik.
Dalam kondisi begini, kaum imperialis AS terpaksa melancarkan manuver dan intrik. Washington mengutus Jenderal George C. Marshall ke Tiongkok pada 1946, yang katanya bertujuan untuk menyusun perundingan-perundingan antara TPR-nya Mao dan Chiang Kai-shek. Tetapi, dalam prakteknya, ternyata tujuannya adalah untuk memperkuat Chiang dengan menyediakan senjata, uang, dan perlengkapan dalam rangka membangun pasukan Nasionalis sebagai persiapan untuk melancarkan sebuah opensif yang baru. Manuver ini tidak memperdaya Mao begitu saja. Mao setuju untuk berpartisipasi dalam perundingan-perundingan, tetapi terus mempersiapkan diri untuk menghadapi bangkitnya permusuhan.
Kendati imperialisme AS tidak mampu berintervensi dalam perang sipil 1946-9, Washington memberikan uang, senjata, dan pasokan dalam jumlah yang sangat besar kepada kubu Nasionalis. Amerika Serikat membantu KMT dengan pasokan-pasokan militer baru senilai ratusan juta dollar. Tapi, banyak senjata yang dikirimkan Washington di kemudian hari justru digunakan oleh orang-orang Vietnam untuk melawan tentara AS, sebab hampir semua perangkat keras militer itu direbut oleh pasukan-pasukan Mao.
Sejak Konferensi Menteri-menteri Luar Negeri Uni Soviet, Amerika Serikat, dan Inggris di Moskow pada Desember 1945, Amerika Serikat telah menganut “kebijakan non-intervensi dalam masalah internal Tiongkok”. Tentu saja ini sebuah sandiwara belaka, sama saja dengan kebijakan “non-intervensi” di Spanyol semasa Perang Sipil, ketika “negara-negara demokrasi” memboikot Republik Spanyol, sementara Hitler dan Mussolini mengirim senjata dan anak buah mereka untuk mendukung Franco
Imperialisme AS memasok Kuomintang dengan pesawat pengebom, pesawat tempur, senapan, tank, peluncur roket, pistol otomatis, bom bensin, proyektil gas, dan senjata-senjata lainnya untuk tujuan tersebut. Sebagai imbalan, Kuomintang memindahtangankan kepada imperialisme AS hak-hak berdaulat Tiongkok atas wilayahnya sendiri, perairan, dan kawasan udara, mengizinkannya untuk mendapatkan hak-hak pelayaran dalam negeri dan privilese-privilese komersial khusus, serta memperoleh privilese-privilese khusus dalam urusan-urusan domestik dan luar negeri Tiongkok. Pasukan-pasukan AS bersalah atas banyak kekejaman terhadap rakyat Tiongkok: membunuh rakyat, memukuli mereka, melindas mereka dengan mobil, dan memperkosa kaum perempuan, semuanya dengan kekebalan hukum.
Revolusi Agraria
Pada Juli 1946, dengan dukungan aktif imperialisme AS, Kuomintang menjerumuskan Tiongkok ke dalam perang sipil besar-besaran dengan kebrutalan yang tiada taranya dalam sejarah Tiongkok. Chiang Kai-shek meluncurkan sebuah ofensif kontra-revolusioner melawan TPR. Ia telah melakukan persiapan seksama, dan pada waktu itu KMT mempunyai pasukan sebanyak hampir tiga setengah kali lipat daripada TPR. Sumber-sumber materialnya pun jauh lebih unggul. Ia mempunyai akses ke industri-industri modern dan sarana-sarana komunikasi modern, yang justru tidak dimiliki oleh TPR. Secara teoritis, seyogyanya Chiang dapat meraih kemenangan dengan mudah.
Pada tahun pertama perang sipil (Juli 1946-Juni 1947), Kuomintang berada pada posisi ofensif dan TPR terpaksa berada dalam posisi defensif. Mula-mula pasukan-pasukan Chiang bergerak maju dengan cepat, menduduki banyak kota dan daerah yang dikontrol oleh TPR. Pasukan-pasukan KMT mencapai sesuatu yang nampak sebagai sebuah kemenangan yang menentukan tatkala mereka merebut ibukota TPR, Yenan. Banyak pengamat menganggap hal ini sebagai pertanda kekalahan yang menentukan bagi TPR. Tapi anggapan ini tidak tepat. Berhadapan dengan rintangan yang sama sekali tidak menguntungkan, Mao memutuskan untuk melakukan penarikan-mundur yang strategis. Mao mengambil keputusan untuk tidak berupaya mempertahankan kota-kota besar dengan pasukan-pasukan yang kurang unggul. Alih-alih ia berkonsentrasi pada daerah-daerah pedesaan, di mana ia mempunyai basis yang solid di kalangan kaum tani; dari sana ia dapat mengumpulkan-kembali dan mengkonsentrasikan pasukan-pasukannya untuk melancarkan serangan balik.
Apa yang gagal disadari kaum imperialis AS dan Chiang Kai-shek adalah bahwa senjata paling efektif yang ada di tangan TPR bukanlah senapan atau tank, tetapi propaganda. TPR menjanjikan kepada kaum tak bertanah dan kaum tani yang kelaparan bahwa dengan berjuang untuk TPR mereka akan bisa merebut tanah pertanian dari para tuan-tanah. Dalam hampir semua kasus, daerah pedesaan sekitar dan kota-kota kecil telah berada di bawah kontrol TPR jauh sebelum kota-kota besarnya. Inilah asal-muasal teori Mao, “Desa Mengepung Kota”.
Ketika Stalin mengubah garis Komintern dari kebijakan-kebijakan ultra-kiri “Periode Ketiga” (1928-34) menjadi kebijakan-kebijakan oportunis frontisme-popular, Mao merevisi program agrarianya. Ia meninggalkan kebijakan sebelumnya yang radikal, yakni “tanah bagi penggarap”, dan menggantikannya dengan kebijakan yang lebih moderat, yakni penurunan harga sewa tanah. Ia mempunyai gagasan untuk memenangkan dukungan dari “para tuan-tanah yang progresif” (!). Tapi, setelah 1946 ia mengubah lagi kebijakannya:
“Kebijakan agraria yang selanjutnya adalah lebih radikal daripada kebijakan agraria dalam periode 1937-45, yang melibatkan penurunan bunga pinjaman dan harga sewa daripada reformasi agraria yang menyeluruh; tetapi taktik-taktik baru ini dimaksudkan bersifat gradual dan disesuaikan dengan kondisi-kondisi setempat. Mao masih bermaksud mengikutsertakan kaum menengah-kaya yang patriotik dalam ‘front-persatuan yang sangat luas’ yang ingin dia pertahankan. Baru setelah beberapa tahun kaum Komunis mengontrol daerah tersebut, semua tanah didistribusikan ulang; untuk sementara reforma tidak boleh mempengaruhi lebih dari sepersepuluh penduduk. Mao juga menyebabkan pemberlakuan kembali ‘tiga aturan disiplin’ dan ‘delapan pokok perhatian’; dalam satu atau lain bentuk, ini telah mengekspresikan selama hampir dua puluh tahun penghormatan terhadap penduduk sipil dan pencegahan terhadap penjarahan, yang membedakan Tentara Merah dari semua tentara yang pernah dilihat kaum tani Tiongkok pada masa silam, dan sangat berkontribusi dalam memenangkan dukungan penduduk.” (Stuart Schram, Mao Tse-Tung, p.242.)
Di setiap desa, TPR mendistribusikan tanah kepada kaum tani. Tetapi mereka selalu menyisakan sejumlah kapling – untuk prajurit-prajurit dari tentara Chiang Kai-shek. Para prajurit KMT yang tertangkap tidak dibunuh atau diperlakukan buruk, sebaliknya mereka diberi makan dan diberi perawatan medis, dan kemudian diberi pidato-pidato politik yang mengutuk rezim Chiang Kai-shek yang korup dan reaksioner. Kemudian para tawanan dikirim pulang untuk menyebarkan pesan di kalangan kaum tani dan prajurit-prajurit lainnya bahwa TPR bermaksud mendistribusikan tanah para tuan-tanah kepada kaum tani.
Dengan menjanjikan tanah kepada kaum tani, TPR berhasil memobilisir kaum tani dalam jumlah yang sangat besar agar dapat digunakan untuk bertempur dan menyediakan dukungan logistik. Ini terbukti sangat efektif. Tentara Chiang barangkali mengalami tingkat desersi tertinggi dari tentara manapun dalam sejarah. Artinya, kendati banyak jatuh korban, TPR sanggup untuk terus bertempur dengan pasokan rekrutmen baru yang konstan. Semasa Kampanye Huaihai saja mereka mampu memobilisir 5.430.000 kaum tani untuk bertempur melawan pasukan-pasukan KMT. Stuart Schram menunjukkan bahwa TPR bertambah besar secara dramatis:
“Semasa 1945 pasukan-pasukan militer yang berada di bawah komando Tentara Rute VIII dan Tentara Baru IV telah meluas dari jumlah sekitar setengah juta menjadi sekitar satu juta orang. Pasukan Kuomintang kira-kira empat kali lebih banyak dari jumlah tersebut. Pada pertengahan 1947, setelah setahun perang sipil berskala besar, perbandingannya bergeser dari satu banding empat menjadi satu banding dua.” (Stuart Schram, Mao Tse-Tung, hlm. 242.)
Ofensif Terakhir
Clausewitz mengutarakan bahwa perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara lain. Politik memainkan peran yang sangat penting dalam setiap perang, terutama dalam perang sipil. Kendati pihak Amerika (seperti biasanya) mempertahankan fiksi bahwa ini merupakan perang antara “Komunisme dan Demokrasi”, faktanya boneka Tiongkok mereka, Chiang Kai-shek, adalah seorang diktator yang brutal. Akan tetapi, barangkali di bawah tekanan Washington, Chiang berpura-pura memperkenalkan sejumlah “reforma demokratis” dalam rangka membungkam para pengkritiknya di dalam dan di luar negeri.
Ia mengumumkan sebuah konstitusi baru dan Majelis Nasional yang baru, yang tentu saja menyisihkan kaum Komunis. Mao segera mengutuk “reforma-reforma” tersebur sebagai sebuah penipuan. Massa-penduduk lebih menaruh perhatian pada korupsi yang merajalela dalam pemerintahan, serta kekacauan politik dan ekonomi: khususnya hiperinflasi yang masif, yang mengakibatkan jatuhnya standar-standar hidup. Ada protes-protes mahasiswa yang besar di seluruh negeri terhadap imperialisme.
Di daerah-daerah yang dikontrol oleh pasukan-pasukan Nasionalis, rezim Teror Putih berkuasa. Chiang mengadopsi taktik yang persis sama dengan para penyerang Jepang: membakar, menjarah, memperkosa, dan membunuh. Jutaan pria dan wanita, muda dan tua, dibantai. Ini memberikan kepada mereka kebencian penduduk dan justru makin memperkuat dukungan bagi TPR.
Secara teori, pihak Nasionalis masih memiliki satu keunggulan yang besar daripada TPR. Di atas kertas, mereka menikmati keunggulan yang nyata baik dalam jumlah personel maupun senjata. Mereka mengontrol wilayah dan penduduk yang jauh lebih besar daripada seteru mereka. Mereka juga menikmati dukungan internasional yang sangat besar dari AS dan Eropa Barat. Tapi itu hanya teori saja. Realitas di lapangan sangat berbeda. Pasukan-pasukan Nasionalis menderita karena tidakadanya semangat juang dan merajalelanya korupsi – yang sangat mengurangi kemampuan mereka untuk bertempur; dan dukungan sipil terhadap mereka telah runtuh.
Pasukan-pasukan Nasionalis yang mengalami demoraliasasi dan tidak berdisiplin meleleh di hadapan derap-laju yang tak terbendung dari Tentara Pembebasan Rakyat. Mereka menyerah atau melarikan diri, meninggalkan begitu saja persenjataan mereka. Penawanan atas sejumlah besar pasukan KMT memberikan kepada TPR tank, artileri berat, dan aset-aset persenjataan-gabungan lainnya yang dibutuhkan untuk meneruskan operasi-operasi ofensif di sebelah selatan Tembok Besar. TPR bukan hanya mampu merebut kota-kota Kuomintang yang memiliki pertahanan yang sangat kuat, tapi juga mengepung dan menghancurkan formasi-formasi pasukan gerak-cepat Kuomintang, seratus ribu atau beberapa ratus ribu pada saat yang bersamaan. Pada April 1948 mereka merebut kota Luoyang, yang memutus pasokan bagi tentara KMT dari Xi'an.
TPR mampu meneruskan kontra-ofensif, yang memaksa Kuomintang meninggalkan rencananya untuk melakukan serangan umum. Setelah merebut senjata dalam jumlah yang sangat besar, TPR mampu memperbaiki kemampuan militernya, membentuk artileri dan kesatuan teknis-nya sendiri, serta menguasai taktik untuk menyerang titik-titik sasaran yang memiliki pertahanan yang kuat. Sebelum ini, TPR tidak mempunyai pesawat tempur atau tank, tapi segera sesudah ia membentuk artileri dan kesatuan teknis yang lebih unggul daripada yang dimiliki tentara Kuomintang, ia sanggup melancarkan bukan hanya pertempuran gerak cepat (mobile warfare) tetapi juga pertempuran posisional (positional warfare). Menurut perkiraan Mao sendiri:
“[…] setiap bulan [TPR] menghancurkan rata-rata sekitar 8 brigade dari pasukan reguler Kuomintang (sama dengan delapan divisi pada masa kini).” (“Carry the Revolution through to the end”, December 30, 1948, Mao, SW, volume IV, hlm. 299)
Perubahana situasi militer ini benar-benar sukar dipercaya. TPR, yang selama bertahun-tahun kalah dalam jumlah, pada Juli-Desember 1948 akhirnya beroleh keunggulan atas pasukan Kuomintang dalam jumlah tentara. Ini adalah jumlah yang diberikan Mao pada waktu itu:
“Pada tahun pertama, 97 brigade, termasuk 46 brigade yang sama sekali dihancurkan; dalam tahun kedua, 94 brigade, termasuk 50 yang sama sekali dihancurkan; dan dalam paroh pertama tahun ketiga, menurut perhitungan yang tidak lengkap, 147 divisi, termasuk 111 divisi yang sama sekali dihancurkan. Dalam enam bulan ini, jumlah divisi musuh yang sama sekali dihancurkan adalah 15 lebih banyak dari jumlah keseluruhan dalam dua tahun sebelumnya. Front musuh secara keseluruhan runtuh sama sekali. Pasukan lawan di Timur Laut telah sepenuhnya dihancurkan, mereka yang di sebelah utara Tiongkok akan segera dihancurkan, dan di sebelah timur Tiongkok dan Dataran Tengah hanya ada beberapa pasukan musuh yang tersisa. Pemusnahan pasukan utama Kuomintang di sebelah utara Sungai Yangtse sangat memudahkan penyeberangan yang akan dilakukan oleh Tentara Pembebasan Rakyat dan perjalanannya ke selatan untuk membebaskan seluruh Tiongkok. Seiring dengan kemenangan pada front militer, rakyat Tiongkok telah mencetak kemenangan-kemenangan menakjubkan pada front politik dan front ekonomi. Karena alasan ini, opini publik dunia luar, termasuk seluruh pers imperialis, tidak lagi memperdebatkan kepastian kemenangan di seantero negeri dari Perang Pembebasan Rakyat Tiongkok.” (Carry the Revolution through to the end, December 30, 1948, Mao, SW, volume IV, p. 299)
Tidak ada alasan untuk tidak mempercayai bahwa secara substansial perkiraan ini akurat. Semua sejarahwan borjuis menerima bahwa pada periode tersebut pasukan-pasukan Chiang sedang terpukul mundur dalam kondisi yang kacau-berantakan dan bahwa TPR dengan cepat kian bertambah besar dan kuat.
London, 1 Oktober 2009
Diterjemahkan oleh Pandu Jakasurya dari “The Chinese Revolution of 1949 – Part One”, Alan Woods, 1 Oktober 2009